IMG_0016_Realization.jpg

621 83 38
                                    


Hubungan Mary dan kedua orang tuanya baik. Baik banget, malah. Entah sudah berapa pertikaian yang dilalui sejak Mary kecil, dan mereka masih bisa berbaikan setelah itu, sehebat apa pun konfliknya.

Mary sungguh berharap yang ini juga sama.

"Bapak, Mary paham kok kalau ini bentuk kasih sayang karena nggak mau anak-anaknya hidup susah." Wanita dengan bintik di muka itu menelan ludah. "Mary beruntung punya Bapak yang bertanggung jawab dengan keluarga, tapi ...."

Mata Mary memejam sejenak. Ia sudah hati-hati dalam merangkai kata. Seharusnya aman. "Mary nggak mau terus-terusan ada di bawah bayang-bayang nama besar Bapak. Mary cuma mau buktiin kalau Mary bisa kerja bagus di bidang media karena memang Mary mampu, bukan karena Mary anaknya direktur Jawamulya."

Akhirnya keluar juga. Mary tidak pernah mau menceritakan sisinya yang itu ke orang lain. Pada Acha pun tidak, tapi entah bagaimana ceritanya sahabatnya itu bisa tahu. Kata-kata semacam itu bisa mengusik perasaan orang tua yang meyakini keputusan mereka untuk anak-anak mereka adalah yang terbaik, makanya Mary tidak pernah bilang.

Akan tetapi, sepertinya memang ini satu-satunya cara untuk memahamkan.

Takut-takut, Mary kembali menatap Bapak. Beliau tercenung dan rasa bersalah merayapi hati si putri bungsu. Seharusnya ia tetap memendam saja. Kenapa diucapkan, sih?

Bapak mengambil napas panjang. "Ini gara-gara cowok yang waktu itu selingkuh gara-gara minder sama Bapak? Atau pernah ada yang bilang kamu ndak kompeten gara-gara nama Mulyabakti?"

Kenapa kesimpulannya jadi ke arah sana? Mary langsung menggeleng. Sungguh, bukan itu maksudnya—walaupun, tak bisa dipungkiri, pemikiran itu memang mulai tumbuh sejak gadis itu tak sengaja mencuri dengar orang yang meremehkan dirinya di masa sekolah. Mary tidak ingin Bapak dan Ibu berpikir itu salah mereka. "Aku cuma ingin hidup dan berbakti dengan caraku sendiri."

Meja makan hening. Mary jadi takut sendiri. Lamat-lamat, ia mengedarkan pandangan. Ibu, Bapak ... Harold.

Ah, benar juga. Malam ini, isi meja makannya tidak hanya keluarga inti.

Mary jadi merasa bersalah karena membuat Harold terjebak dalam perdebatannya dengan Bapak. Sumpah, ia tidak bermaksud! Setelah ini, Mary harus minta maaf pada kawannya yang satu itu.

"Kok ndak ket mbiyen tho—nggak dari dulu—ngomongnya?" Senyum terbit di wajah Bapak. "Tahu gitu kan Bapak ndak maksa-maksa kamu, Dek."

"Lah, dari dulu aku udah nolak!"

"Iya, tapi Bapak mikirnya kamu sek isa dibujuk, alasan nolakmu selama ini ndak make sense soalnya." Bapak tertawa. "Kalau gini kan, Bapak langsung paham."

Harus bagaimanakah Mary merespons? Setelah diam sejenak dan berpikir, Mary menangkupkan kedua tangannya. Mestinya diiringi permintaan maaf, tapi lidah anak itu sudah kelu duluan. Ibu yang memecah keheningan setelah sekian detik. "Yang penting kamu bisa tanggung jawab sama pilihanmu sendiri wes, Nduk. Ya tho, Pak?"

Bapak mengacungkan jempol. "Tapi, nek kamu wes bosen di Jakarta terus pingin njajal dadi direktur, Bapak tetap welcome kok, Dek."

Rasanya beban berat yang menyelimuti benak Mary beberapa saat lalu langsung terangkat. Setelah ini tidak akan ada lagi paksaan untuk kembali ke Surabaya menjadi direktur. Yah, setidaknya untuk saat ini. Yang paling penting, Bapak dan Ibu tidak sakit hati. Itu saja Mary sudah bersyukur.

"Ndak kamu, ndak Isabel, keras kepalanya sama saja." Ibu geleng-geleng, heran. "Nurun dari Mas Faris ini mesti."

"Lah, kok aku, Yang?" Bapak langsung protes mendengar keluhan istrinya.

[END] Heart Shutter - MaryWhere stories live. Discover now