IMG_0009_Unfiltered.jpg

779 90 41
                                    


Kapan, ya, terakhir kali Mary makan nasi padang? Rasanya sudah lama sekali. Selain mahal, dia juga lebih suka ayam geprek. Namun, entah mengapa hari ini dia merindukan rumah makan padang yang konon sudah dinobatkan menjadi hidden gem itu. Wangi santan dan rerempahan yang kuat langsung menyapa penciuman Mary begitu dua manusia itu tiba di sana.

Gadis itu baru hendak memesan ketika Harold minta tolong pada salah satu pegawai untuk menyajikan seluruh lauk yang ada di sana ke meja mereka. Astaga. Mata kelabu Mary melotot, lantas teringat kalau orang yang sedang berjalan bersamanya ini adalah kliennya. Ya sudahlah. Suka-suka dia saja.

Harold menyendok nasi, meraih mangkok berisi gulai gajebo, dan mencomot telur barendo. Banyak sekali. Mulutnya berceletuk, "Makan yang banyak, Mar. Biar cepet gede."

Andai bisa, Mary juga mau tinggi. Ia sering merutuki nasibnya yang tak mewarisi tubuh jenjang Ibu dan kakaknya. Bibirnya mencebik.

"Lu bisa, nggak, melihat gue sebagai wanita dewasa yang sudah besar, sekali aja?" Mary menggerutu sembari mengambil bagian gulai gajebo miliknya. "Umur segini udah mentok badan gue mau makan kayak gimana juga!"

Harold menghentikan gerakannya dan menatap intens ke Mary. Ekspresinya melembut. "Kayak gini?" tanya pria itu dengan suara baritonnya.

Ditatap begitu, Mary jadi salah tingkah. Rasanya aneh. Entah ke mana menguapnya omelan yang biasa bersarang di mulut si mungil. Ia tidak membalas apa-apa, hanya menatap televisi sembari mengunyah nasi gulai. Lebih tepatnya, gadis itu tidak tahu bagaimana cara merespon detak jantungnya yang sudah macam diajak lari maraton.

Kenapa cara lihatnya harus gitu banget, coba?

Poni Mary, yang sudah diselipkan di balik telinga, jatuh lagi ke wajah untuk kesekian kalinya. Yah, setidaknya kehilangan jepit bisa membuat Mary beralih fokus untuk membenahi rambut alih-alih perasaan aneh yang menggelayuti.

Untung saja mata sipit di balik lensa itu tidak mengamati Mary lama-lama. Lelaki itu bangkit dari tempat duduk, menghampiri salah satu pelayan. Kemudian, ia kembali dengan karet gelang.

"Ikat dulu nih rambutmu. Lama-lama bisa maskeran sambal ijo itu rambutmu kalau dibiarin gitu."

Mary melongo. Matanya menatap Harold dan karet gelang bergantian. "Gue disuruh ngiket poni pakai karet gelang?"

"Daripada ngalangin mata. Dengan tingkat kecerobohan yang kamu punya, aku nggak bakal heran kalau tangan kamu yang penuh sambal itu nggak sengaja colek mata pas lagi benerin poni."

Kurang ajar! "Gue nggak separah itu—" Mary mengucapkan pembelaan saat ia nyaris menggunakan tangan kanannya yang belepotan untuk membenahi poni. Buru-buru ia menurunkan tangan. Tidak lucu kalau ia ketahuan nyaris membuktikan omongan si udang galah dalam jeda kurang dari semenit. Tentu saja wajah jutek turut dipasang demi menutupi rasa salah tingkah.

"It's your choice. Aku bakal ketawa paling keras kalau kamu sampai nangis-nangis keperihan." Harold nyengir.

"Nyebelin lu." Mary menggembungkan pipinya. Ia mengambil karet yang Harold ulurkan dengan tangan kirinya dan meletakkannya di samping piring.

Tempat duduk yang mereka pilih memang dekat dengan televisi. Dalam kotak kaca, berita tentang rombongan anggota DPR tengah tayang. Mary menangkap bahasan tentang tinjauan lokasi bencana longsor di Banten. Di sana, ada beberapa orang yang lumayan Mary hafal saking seringnya gadis itu seliweran ke kantor DPR.

"Saya harap ini jadi pelajaran kita bersama untuk menjaga lingkungan. Bencana banjir dan longsor makin banyak terjadi karena banyak lahan hijau yang beralih fungsi jadi pemukiman ...."

[END] Heart Shutter - MaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang