IMG_0018_IntoTheUnknown.jpg

570 73 36
                                    

Mary sama sekali tidak punya bayangan tentang apa yang sebenarnya ada di benak Harold seharian ini. Ada saja gebrakan yang anak itu lakukan dan membuat hati si mungil acak-acakan.

Dulu, Mary suka menertawakan Acha apabila kelewat girang perkara dikirimi foto berdua oleh gebetannya, pun heran kenapa Isabel hobi senyum-senyum sendiri padahal hanya jalan kaki keliling komplek bersama pacarnya. Sekarang, sepertinya Mary paham. Dinginnya es krim mint chocolate yang ada di tangannya tidak mampu meredam panas yang menjalar semuka-muka ketika Harold meminta foto kondangan dan photobooth hasil ulah tante-tante Mary.

"Ngapain?" Berlagak tenang, Mary bertanya. Fotonya sendiri ada di dompet, sebenarnya. Untuk alasan yang sulit dijelaskan, gadis berambut pendek itu ingin menyematkan potret itu di ruang kosong dalam dompetnya. Padahal muka merahnya terlihat konyol di sana, tapi fotonya lucu.

Harold menjawab dengan entengnya, "Buat aku simpen di dompet."

Tentu saja Mary langsung melotot. Meskipun fotonya—dengan terpaksa, Mary mengakui—lumayan manis, Mary tidak ingin mukanya yang jelas-jelas kelihatan saltingnya itu dilihat manusia yang ada di hadapannya saat ini. Bisa-bisa anak itu menertawakannya!

Menutupi rasa gugup, Mary menyergah galak. "Biar apa, gue tanya?"

"Pakai tanya. Bukannya itu hal yang wajar dilakuin orang pacaran ya?" Lelaki bermata sipit itu tersenyum geli. Mary mulai menyesali keputusannya merekrut Harold menjadi plus one kondangan tempo hari. Sepertinya kosakata pacar ini akan terus digunakan untuk menggoda si boncel. Masalahnya, jantung Mary jadi harus bekerja lebih keras gara-gara gugup!

"Eh, kita nggak pacaran beneran ya, anjir!" Gadis dengan kulit putih kemerahan itu nyaris melayangkan pukulan sebagai bentuk pelampiasan debar di hatinya.

Bisakah Harold berpikir dulu sebelum bicara? Mary curiga bakat anak satu ini memang membuat para wanita salah tingkah, kalau semua yang dilontarkan pria itu meluncur tanpa dipikir. Pantas dulu teman-teman kuliahnya pada kepincut!

Harold memasang tampang cemberut. "Padahal beneran juga nggak papa, lho."

Ngelunjak ini anak! Pukulan langsung melayang. Tidak perlu ditahan-tahan ternyata. Anak ini natural menyebalkannya. "Enteng banget itu mulut ngomong! Emangnya pacaran segampang itu?"

"I don't know." Harold mengangkat bahu. "Explain to me."

Oh, sial. Malah jadi senjata makan tuan. Kenapa juga arah pembicaraannya mendadak serius begini?

Yah, bukannya Mary sama sekali tidak pernah berpikir tentang pasangan dan jenjang kehidupan selanjutnya, sih. Cuek-cuek begitu, Mary masih cewek biasa yang punya impian menikah dan punya ayang. Hanya saja, selama ini semua ide yang mengarah ke sana selalu ditepis jauh-jauh oleh gadis satu itu. Tak dapat dipungkiri, salah satu penyebab terbesarnya, yah ... kejadian pahit dengan para lelaki yang sudah sekian tahun berlalu.

Mary percaya, Harold berbeda. Akan tetapi, percintaan di usia dewasa tidak seperti di film-film romansa remaja.

Kemudian ... gadis itu pun masih butuh waktu untuk memastikan perasaannya bukan hanya kasmaran sesaat.

"Sadar umur, Rold." Mary mendengkus, sudah mulai bisa mengatur ritme jantungnya agar kembali normal. "Di umur-umur segini pacaran nggak cuma perkara naksir-naksir doang. Harus cocokin keluarga, visi-misi, terus—"


Argumen si gadis masih panjang, tapi Harold malah menjejali mulut mungil Mary dengan es krim raspberry yang ia nikmati. "Cobain deh. Yang rasa raspberry enak."

Lagi serius juga! Kenapa juga Harold menyodorkan es krim dengan cara seperti itu, padahal banyak cara yang lebih manusiawi? Mary langsung mencak-mencak. "Harus banget kayak gitu cara ngasihnya?"

[END] Heart Shutter - MaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang