IMG_0007_GiantPrawn.jpg

906 96 26
                                    

Sudah lama sekali sejak Mary melakukan hunting mandiri. Kadang-kadang, ia memang memotret orang-orang di area sekitar kantor jika sedang malas pulang lebih awal, tapi ia sudah nyaris tak pernah ikut kegiatan di komunitas fotografi ataupun pergi yang memang disengaja untuk hunting foto. Salahkan padatnya pekerjaan kantor untuk itu.

Itu sebabnya, mata kelabu Mary berbinar tatkala menyusuri Jalan Suryakencana yang dipenuhi pilar merah di kanan-kiri. Sepanjang jalan, bangunan lawas berjejer dengan orang-orang yang sedang menjajal kuliner. Kombinasi objek favorit Mary: jalanan dan manusia.

Saat hendak memotret ibu dan anak yang sedang makan cilok berdua, ekor mata Mary menangkap keberadaan Harold. Perasaan tadi orang itu masih cari-cari jajan, deh. Saat Mary tanya pun, si dokter tidak berminat photoshoot di sini. Alis tegas Mary terangkat. "Lu ngapain ngintilin gue?"

"Takut kamu diculik orang."

"Lu kali yang nyulik?" cibir Mary.

"Lah, kamunya ikut dengan sukarela, kok." Enteng sekali Harold membalas. Sambil senyum-senyum pula. Mary bersungut-sungut.

"Ya kan itu kerja. Lagian nggak capek ngikutin gue ngider-ngider?"

"Nggak. Kan, kakiku panjang. Jadi aku nggak perlu melangkah banyak-banyak ngikutin kamu."

Tendangan langsung melayang ke tulang kering Harold. Orang ini memang tidak bisa diberi perlakuan halus versi Mary. Ada saja hal pemantik emosi di balik wajah penuh senyum itu!

Omong-omong kelakuan, ada satu hal yang Mary amati diam-diam. Harold recehnya kebangetan. Sudah berapa kali dia tertawa hari ini? Padahal tidak ada yang lucu. Wajahnya macam generator penghasil senyum dan tawa. Bukan hal yang buruk sih, sebenarnya. Hanya saja, model senyumnya beda dengan yang ia pasang di depan kamera.

Ingin rasanya Mary memotret momen ketika si lelaki tertawa di depan wajahnya, tapi aneh juga rasanya mengeluarkan kamera begitu saja di tengah obrolan. Kalau dari jauh, sih, ada beberapa foto yang Mary jepret. Masalahnya potret-potret itu tidak mungkin dipakai, berhubung Mashtama menyembunyikan wajahnya di media sosial. Ya sudahlah. Nanti Mary lampirkan saja sebagai bonus.

Kenapa jadi mengamati orang begini, coba? Mary buru-buru mengalihkan fokus. Bodohnya, ia malah tersandung—lagi. Kameranya selamat ... tangannya tidak.

Duh, alamat diomelin, dah! Mary panik sendiri saat Harold menghampiri. Sesuai dugaan, lelaki itu bertanya apakah ia terluka—yang sialnya, iya.

Harold menyuruhnya duduk di pinggir jalan, sementara manusia jangkung itu pergi ke toko kelontong terdekat. Entah apa yang dibeli. Mungkin seperangkat alat untuk mengobati luka.

Mary mengamati telapak tangannya yang berdarah. Belum juga lukanya yang di lutut dan siku hilang. Gadis itu heran dengan dirinya sendiri. Ia memang chaotic, tapi bukan ceroboh. Kenapa akhir-akhir ini ada saja kejadian sebangsa? Apa karena mentang-mentang dia jalan sama dokter, jadinya Tuhan menakdirkan ia terluka untuk diobati?

Benar dugaan Mary. Lelaki yang tingginya jauh menjulang di atasnya itu membawa plester dan botol air. Serentetan wejangan keluar sembari tangannya bekerja. Selalu ada jawaban untuk setiap sanggahan yang Mary lontarkan. Ingin rasanya Mary mencubit lengan manusia berkulit terang itu. Atau memukul. Tapi, Mary sadar diri; mungkin dokter satu ini sebal juga karena pertemuan mereka selalu diwarnai ia yang terluka.

Dari sudut pandang Mary, Harold yang sedang berlutut dan sedikit menunduk jadi kelihatan seperti udang galah. Besar karena dia manusia galah dan kulitnya memerah saat kena panas. Cocok, deh. Memanggil orang dengan nama aslinya saat sedang kesal itu menyebalkan, jadi sepertinya Mary akan menyematkan julukan udang galah itu saja.

[END] Heart Shutter - MaryWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu