IMG_0012_Unexpected.jpg

618 84 21
                                    

Naufal memang suka bercanda tentang Hiro yang jatuh cinta padanya. Telinga Mary sudah kebal. Kadang-kadang, mulut anak itu memang minta dijewer, walau tentu saja tidak Mary lakukan betulan. Gitu-gitu, Mary hanya suka melakukan kontak-garis-miring-kekerasan fisik secara langsung pada manusia-manusia terpilih.

Tidak pernah Mary berpikir kalau redaktur yang satu itu bakalan sungguhan menembaknya.

Hal itu terjadi setelah jam pulang kantor. Mary masih berkutat dengan editing foto-foto yang diminta tim konten ketika Hiro datang menghampiri. Hanya ada mereka berdua di ruang kru jurnalis.

"Mar, sibuk?"

Yang dipanggil menoleh. Lelaki yang memanggilnya berdiri di sana dengan kotak beludru merah berisi gelang emas. Dahi Mary mengernyit. Gadis itu bukannya tidak peka terhadap hal-hal semacam ini, tapi ....

"Kamu ... masih jomlo, kan?" Hiro berdeham. Kentara sekali gugupnya. "Aku ... ingin mengajakmu ke jenjang hubungan yang lebih tinggi."

"Gue jadi redaktur, lu jadi direktur, gitu?" Mary berusaha mengelak dengan candaan. Akan tetapi, air muka Hiro tidak berubah. Lelaki itu sungguhan serius, dan itu bukan pertanda baik. Mary heran sendiri. Selama ini, hubungan mereka murni teman kerja. Dia tidak bodoh, dia tahu maksud di balik gelang dan pertanyaan itu.  Yang diherankan Mary adalah keberanian Hiro menembak begitu saja tanpa pendekatan yang bagus.

Pendekatan ....

Ah, ya. Segala perhatian dan barang-barang yang mendarat di meja Mary, juga si pria yang bersikeras meliput bersama walau secara teknis seharusnya tidak begitu. Jadi, Naufal selama ini benar-benar serius, ya, tentang Hiro yang menyukainya?

Mary menghela napas. "Kenapa?"

"Kamu ... beda dari cewek-cewek lain yang pernah kutemui." Hiro menatap Mary lurus-lurus. Sedikit menunduk. "Kamu mandiri, punya pendirian sendiri, dan sangat menikmati hidup tanpa memikirkan orang lain. Aku merasa kita bisa saling melengkapi sebagai pasangan."

Klasik. Bukan sekali-dua kali Mary mendengar pernyataan itu dari orang lain. Dari mulut Hiro pun ia sudah sering dengar, berhubung lelaki itu hobi memuji. "Seberapa yakin?"

"Kalau nggak yakin, aku nggak bakal bilang ke kamu," tukas Hiro dengan intonasi mantap. Begitu percaya diri, dari penglihatan Mary, seakan-akan sudah pasti diterima.

Mary harus menolak.

Gadis itu memejamkan mata, mencoba menyusun kata-kata untuk menjawab.

"Ketemu orang tuaku dulu." Mary berdiri demi menyejajari Hiro—walaupun ujung-ujungnya tinggi si mungil hanya sedikit melewati bahu si lelaki. Si gadis mendongak. "Mas Hiro sudah tahu orang tuaku siapa, kan?"

Oke. Ini terdengar arogan, tapi Mary belajar dari pengalaman. Kalau bukan untuk hal-hal serius, tak akan mau dia membawa-bawa nama Mulyabakti. "Dulu, gue pernah pacaran dua kali. Dua-duanya mundur karena keluarga." Tatapan mata almon bulat Mary yang biasanya ramah, kini menusuk. "Mas Hiro yakin bisa mengimbangi keluarga gue?"

Padahal yang Mary maksud bukan dari segi harta, tapi raut wajah Hiro berubah mengeras. Apakah lelaki ini akan sama seperti mantan terakhirnya yang minderan itu, dan berakhir mengecap Mary sebagai wanita yang hanya memandang seseorang dari segi ekonominya?

"Apa syaratnya?" Mata Hiro membalas tatapan tajam Mary. "Apa aku harus jadi direktur sungguhan? Aku bisa, kok, setara dengan direktur Jawamulya. Kamu remehin aku?"

Nah, kan.

"Mantan terakhir gue nggak miskin, tapi dia nggak bisa afford gaya hidup gue dan keluarga." Si gadis menanggapi dengan intonasi sedatar mungkin. Bicara saja memang mudah. Mantan brengsek itu juga awalnya bilang tidak masalah dengan latar belakang keluarganya, tapi ujung-ujungnya minder sampai selingkuh. "Kalaupun Mas Hiro sanggup, seberapa yakin Mas Hiro bisa bikin gue sekeluarga luluh? Biarpun di kantor gue sok-sokan kere dan mandiri, aslinya gue ini putri bungsu yang manja, lho?"

[END] Heart Shutter - MaryWhere stories live. Discover now