IMG_0024_MajorHeartbreak.jpg

536 71 23
                                    

Tinggalkan jejak untuk si boncel dan udang galah, please. 🫶

Gosip tentang hubungan Harold dan Abigail kian santer terdengar, tapi lelaki yang bersangkutan tampak begitu santai seakan tidak ada yang perlu dikonfirmasi. Bukan berarti seharusnya dia wajib klarifikasi, sih. Hanya saja, akan aneh kalau tiba-tiba Mary bertanya tentang hubungan asmara. Salah-salah, malah dia yang kena tanya balik.

Mary tidak ingin Harold tahu tentang perasaannya. Setidaknya untuk saat ini. Selain ragu akan berbalas (karakter yang sangat tidak Mary, sejujurnya), gadis itu ... takut. Dia masih belum bisa memastikan apakah perlakuan Harold padanya selama ini memang punya arti khusus atau sekadar kebaikan seorang buaya. Mary belum siap patah hati.

Namun, dengan intensnya kabar hubungan Harold dan Abigail, tampaknya Mary harus benar-benar mengambil ancang-ancang untuk patah hati. Sebab, ia terlanjur jatuh, tenggelam, dan kebingungan mencari jalan kembali.

Sejak kapan gue jadi mellow begini? Mary menghela napas. Gadis itu berusaha kembali fokus pada pekerjaannya. Hari ini, dia janjian dengan Harold di kafe dekat rumah sakit tempat pria itu bekerja. Sebisa mungkin Mary menuntaskan tanggung jawabnya hari ini lebih cepat, karena ia sungguh tidak sabar untuk kembali berjumpa. Terdengar menggelikan, tapi sekarang menjumpai Harold menjadi waktu yang ia tunggu-tunggu.

Walaupun, yah, hanya sebagai teman.

"Mar, lo lagi seneng, ya?" Naufal bertanya dari kubikelnya. "Lo ada bakat terpendam sih kalau nyanyi, tapi kayaknya lebih baik tetap dipendam, deh."

Wajah Mary sedikit merona. Dari tadi, dia memang berdendang dalam hati. Masa malah bablas keluar mulut, sih? Akan tetapi, dia sebal dengan kalimat terakhir si rekan, jadi tangannya langsung melempar buku tulis kecil ke arah Naufal. Yang disasar kontan mengaduh.

Gadis itu baru saja menyentuh tetikus ketika Naufal kembali bicara. "Mar, lo jadi ikut hunting nggak minggu depan?"

Belum ada agenda janjian, sih. Dipikir-pikir, sudah lama juga sejak terakhir kali gadis itu bermain-main dengan kamera di luar urusan pekerjaan. Jadi, Mary mengangguk. "Gue harus konfirmasi di grup, nggak?" tanyanya sembari mengatur kontras foto di komputer.

"Nggak usah. Gue ketuplaknya."

Mary tergelak. "Gaya-gayaan banget. Sejak kapan acara hunting foto ada ketuplaknya?"

Naufal berdecak. "Lo pasti nggak baca chat group betul-betul. Agendanya nggak cuma foto-foto doang padahal."

Sebagai tanggapan, Mary hanya melempar senyum inosen kepada Naufal. Tidak salah, sih. Mary memang hanya mengecek isi grup komunitas fotografinya sekilas-sekilas belakangan ini. Obrolan tentang tempat mana saja yang bisa ia kunjungi bersama Harold jauh lebih menarik.

"Nanti ada baksos juga, Mar. Jadi yang ikut mesti iuran." Lelaki ceking itu bicara sambil menatap layar. "Lo mau transfer apa bayar langsung ke gue?"

Kalau transfer, kemungkinan besar Mary bakal lupa. Dia juga enggan membuka ponselnya sekarang, karena fokus pekerjaannya bisa buyar. Jadi, ia merogoh tas dan mengambil dompet.

"Langsung aja. Lu ambil sendiri gih iurannya berapa." Si mungil meletakkan dompetnya di meja Naufal sebelum kembali mengutak-atik kerjaan. Anak itu heran ketika rekannya mengembalikan dompet dengan senyum mencurigakan. "Apa? Duitnya kurang?"

Naufal nyengir. "Kagak. Isi dompet lo sedang tidak mencerminkan rakyat jelata, duit kurang gimana?" Senyum mencurigakan masih terpasang di wajah. "Pantes lo seneng banget."

Yah, Mary memang baru tarik tunai kemarin, sih. Toh, Naufal tahu latar belakang keluarganya. Mary yakin kawannya yang satu itu tidak akan menilep uang atau berniat jahat, jadi anak itu santai saja.

[END] Heart Shutter - MaryWhere stories live. Discover now