IMG_0014_WeddingPartner.jpg

621 87 41
                                    


Seumur hidup, Mary hanya pernah dirias dalam hitungan jari: kelulusan SMA, wisuda kuliah, dan sekarang acara pernikahan kakaknya. Dia menyaksikan pantulan mukanya sendiri di cermin rias dan melongo. Siapa manusia dengan gincu merah muda dalam kaca itu? Rasanya aneh melihat muka sendiri berubah dengan kekuatan make up. Apalagi, anak yang biasanya cuma pakai kemeja plus celana itu sekarang dibalut kebaya sewarna biru malam dan kain batik dengan warna senada, juga jepit mutiara yang bertengger dekat telinga. Sebenarnya masih terhitung sederhana kalau melihat anggota keluarga yang lain sampai disanggul segala, tapi tetap saja Mary merasa aneh.

"Rambutnya nggak mau di-styling lagi, Dek?"

Mary mendongak. Ada ibu mertua Isabel. Dia menggeleng, memasang senyum penuh adab. "Segini juga sudah cakep, kok, Tante."

"Kok Tante, sih?" Perempuan dengan rambut yang disemir coklat kemerahan itu protes. "Saya kan mamah kamu juga. Mary sudah saya anggap anak sendiri, lho, sejak Satya dan kakakmu masih pacaran!"

Teguran itu Mary tanggapi dengan tawa kecil. Karena sejak kuliah ia sudah merantau ke ibu kota, mereka jarang bertemu. Dari perjumpaan yang bisa dihitung jari, Mary selalu lupa dengan panggilan yang diminta oleh orang tua calon iparnya satu itu. "Maaf, Mamah."

Mamah manggut-manggut puas mendengarnya. Kedua orang itu berjalan keluar ruang rias, menyusul orang-orang yang tengah berkumpul di tempat khusus keluarga inti pengantin. Ada Bapak, Ibu, dan Papah—alias mertua laki-lakinya Isabel. Baju mereka semua senada: dominan dengan warna biru malam. Ketika Mary bertemu pandang dengan Bapak, pria paruh baya itu tersenyum penuh makna.

"Ndi, Dek?"

Dahi Mary mengerut. "Apanya yang mana, Pak?"

"Katamu, kamu janji kenalin pacarmu hari ini?" Bapak terkekeh. Ucapan itu menarik atensi semua orang yang ada di sana. Gadis mungil itu jadi pusat perhatian seketika.

Sementara itu, yang disorot langsung merah padam. Wanita berambut pendek itu merengut. "Siapa yang bilang pacar, sih?"

"Ya kemarin lho kamu bilangnya gandengan. Bukan pacar memangnya?"

Sial, Mary terpojok dalam posisi serba salah. Kemarin, anak itu memang sudah memberi briefing pada Harold untuk menjadi pacar kontrak, tapi untuk mengakui hal itu, rasanya Mary tidak sanggup. Jantungnya sudah berdisko ria. Pas sekali, tepat di saat itu, si udang galah mengabari kalau ia sudah sampai.

Mary langsung menyunggingkan senyum profesional, menutupi salah tingkah. "Kebetulan, cowok yang diceritakan Mbak Bel kemarin sudah datang." Gadis itu menunduk sedikit lantas undur diri. Tidak bisa berjalan cepat-cepat walau rasanya ia ingin melesat saja, karena sepatu hak tinggi membuatnya oleng.

Sejenak, Mary tercekat melihat Harold dalam balutan batik biru dongker dan celana bahan hitam. Ia terlalu sering bertemu Harold versi santai hingga lupa kalau lelaki ini seorang dokter yang bisa mengeluarkan aura berwibawa. Rambut yang ditata klimis itu cocok sekali dengan setelan yang ia kenakan. Dewasa.

Harold mode Mashtama memang tampan secara objektif, bahkan tanpa muka. Terbukti dengan ratusan ribu followers yang mengatakan hal senada. Namun, dampak dari Harold versi yang ini sukses memporak-porandakan hati mungil Mary. Padahal mereka nyaris tiap pekan bertemu, tapi kenapa Mary jadi salah tingkah begini?

Biasa aja, dong, Mar. Kayak nggak pernah lihat cowok aja! Mary berusaha mengontrol ekspresinya sekalem mungkin. Gadis itu meminta Harold mengikutinya. Semoga dengan ini gue nggak dicecar pertanyaan lagi!

Sekaranglah waktunya memperkenalkan sang pacar.

"Perkenalkan, ini Harold." Kata "pacar" sudah di ujung lidah, tapi Mary kelewat malu mengucapkannya secara langsung. Seharusnya, tanpa dilontarkan pun, beliau-beliau ini paham maksudnya, kan?

[END] Heart Shutter - MaryWhere stories live. Discover now