IMG_0013_FakeProposal.jpg

603 87 37
                                    

Pesawat sudah lepas landas dan sabuk pengaman sudah boleh dilepaskan, tapi kata-kata yang disusun Mary untuk minta tolong pada Harold belum juga lepas. Gadis itu terus-terusan memandangi awan berarak di luar jendela. Setelah keyakinannya terkumpul, barulah matanya berani menatap Harold yang tengah duduk di sampingnya.

"Harold." Suara Mary nyaris mencicit. "Boleh minta tolong, nggak?"

"Minta tolong apa?"

Belum juga disampaikan, tapi malu kembali menguasai. Keberanian menguap dari benaknya. Mary yakin wajahnya yang berbintik-bintik itu sudah macam kepiting rebus sekarang, karena rasanya panas sekali. Sudah tidak ada jalan mundur. Toh waktu itu Harold juga mendengar percakapannya dengan Bapak walau sepotong-potong.

"Anu ... besok gue boleh minta tolong ama lu buat jadi teman kondangan, nggak?" Buru-buru Mary menambahkan, "Itu juga kalau lu kosong aja!"

"Maksud kamu, pura-pura jadi pacar kamu biar kamu nggak ditanya-tanyain terus?"

Tolong jangan terlalu to the point! Mary mengerang dalam hati. Pipi tirusnya menggembung karena sebal. "Nemenin doang!" elak si mungil.

"Jadi kalau keluarga kamu tanya hubungan kita, aku jawab 'cuma temen', nih?" Lelaki berkacamata itu tersenyum geli. Kalau bukan karena sedang di pesawat, sudah pasti cubitan melayang di lengan.

Jelas-jelas Harold sedang bertingkah pura-pura bodoh. Mendadak, Mary menyesal sudah bertanya. Apalagi melihat cengiran sang pria yang kian lebar.

"Terus aku mesti jawab apa? Teman tapi mesra? Apa friend with benefits?"

Kali ini, Mary tidak bisa menahan tangannya. Ia langsung menghadiahkan tampolan ke lengan Harold. "Lambemu!"

"Lah, aku kan cuma mastiin, biar cerita kita sinkron."

Yah, nggak salah juga, sih ... tapi, apakah Mary harus menyebutkannya dengan gamblang? Wajah si gadis panas tak karuan, perpaduan antara rasa malu dan debar aneh yang memenuhi dadanya. "Ya menurut lu, kalau orang bawa pasangan ke nikahan keluarga, itu artinya apa?"

"Lah, tadi aku tanya apa aku perlu pura-pura jadi pacar kamu, kamu bilang cuma nemenin," balas Harold enteng.

Gusti nu agung. "Ya pacar kan ... nemenin ...." Tangan Mary menutupi muka yang sudah macam kepiting rebus. Andai muka bisa dibongkar sementara, sudah disimpan muka itu ke dalam tas. Dasar Harold menyebalkan! Tidakkah ia tahu betapa susah payah anak itu mengumpulkan nyali untuk minta tolong padanya?

Tepukan mendarat di atas rambut brunette Mary. Si empunya kepala memalingkan wajah, tak berani menatap orang yang mengusap kepalanya barusan. "Oke kalau gitu. Aku juga nggak ada agenda malam itu." Suara bariton Harold terdengar begitu lembut.

Kelegaan mengaliri benak Mary, tapi di saat bersamaan jantungnya semakin kencang berdegup. Gadis itu memeluk boneka kucing dan memejamkan mata, berharap gelenyar aneh serta panas yang menjalari muka segera sirna begitu ia berpindah ke alam mimpi.

📸

Jakarta dan Surabaya bisa ditempuh dalam waktu kurang dari dua jam dengan pesawat, dan bisa semalaman jika naik kereta. Banyak opsi kendaraan yang bisa dipilih apabila Mary hendak pulang. Namun, dalam setahun ia hanya pulang saat libur lebaran dan akhir tahun. Untung saja gadis itu tidak dicap anak durhaka.

"Pekerjaanmu di MiniMasa lancar, Nduk?" Ibu bertanya seraya menyendokkan tumis tauge ke piring putri bungsunya. Pertanyaan Ibu membuat Mary teringat dengan Hiro dan pernyataan cinta. Demi kebaikan benaknya, dan mumpung libur juga, dia putuskan untuk memblokir kontak redaktur satu itu sementara waktu.

[END] Heart Shutter - MaryWhere stories live. Discover now