IMG_0005_WeekendPlan.jpg

1K 104 49
                                    


"Cha, orang luka tuh emang harus diobatin, ya?"

Ini masih siang bolong, hari Jumat. Jam istirahat panjang di kantor Mary, dan yang gadis itu lakukan setelah makan bakso di warung dekat kantor adalah menelepon Acha. Sebagai desainer di agensi digital marketing, Mary tahu cewek berhijab itu seharusnya juga luang jam segini. Dan itu adalah kalimat pertama yang meluncur setelah telepon diangkat, padahal tadinya Mary mau sambat gara-gara terpaksa lembur di hari libur. Entahlah, muka Harold yang menyebalkan itu lewat begitu saja di benak si gadis.

"Nggak ada pertanyaan yang lebih random, Mar?" Acha mendecak.

"Gue habis ketemu orang rese, Cha. Masa dia ngomel-ngomel cuma gara-gara gue males ngobatin luka?"

Nada bicara Acha berubah menyelidik. "Mary, kamu habis ngapain lagi?"

Yang ditanya melirik posisi plester di siku yang tersembunyi di balik blus lengan panjang. Sengaja, berkaca dari pengalaman luka di jidat kemarin. "Jatuh di jalan. Terus—"

"MARY!" Seorang—bukan, gerombolan wanita menghampiri meja tempat Mary makan. Gisel salah satunya. Si gadis mengangkat alis. Ada apa pula ini?

"Lagi telponan sama siapa, Mar?" Gisel meletakkan mangkuk baksonya di sisi kanan mangkuk Mary yang sudah nyaris tandas. "Gue mau tanya-tanya, dong!"

Dahi Mary mengernyit. Rasa-rasanya, dia tidak membuat masalah apapun hari ini. Namun, berhubung Gisel bisa dihitung sebagai orang yang lebih senior di kantor, Mary mengangguk dan menutup sesi curhatnya bersama Acha. "Mau tanya apa, Kak Gisel? Lu sampai bawa rombongan gini."

"Lo kerja sama Mashtama?" Wanita dengan rambut bergelung di samping Gisel memajukan badan demi bertanya. "Dari kapan? Bukannya lo nggak kenal?"

Lah, kepo! Tentu saja Mary masih sadar diri untuk tidak melontarkan kata-kata itu secara langsung. Mulut unfiltered-nya perlu dikondisikan kalau sudah bertemu geng konten. Kalau tidak, bisa-bisa dia yang jadi konten ... gibah. "Emang nggak kenal, Kak. Kemarin Mashtama yang reach out duluan buat foto-foto."

"Ih anjir, iri beut gue!" Gisel manyun. "Gimana, Mar? Aslinya ganteng, nggak?"

Kulit bersih. Perawakan ideal. Mata sipit. Alis rapi alami. Hidung yang, yah, tidak pesek-pesek amat. Kalau untuk standar masyarakat Indonesia, cukup tampan, tapi Mary jadi tidak ikhlas mengakui hal itu gara-gara ejekan bocil yang tersematkan padanya.

"Biasa aja. Mask-fishing dia." Gadis mungil itu mendengkus. "Ini lu nyamperin cuma mau tanya Mashtama ganteng beneran, Kak?"

Gisel terkekeh. "Ya, siapa tahu ada fun fact apa gitu ... atau mintain tanda tangannya, kek."

Buat apa coba? Mary geleng-geleng kepala, heran sendiri. Artis juga bukan. Yang lebih penting, dia mau mengakhiri sesi makan siangnya dengan khidmat dan tenang, bukannya dirusuh oleh pemuja orang menyebalkan!

"Nah kan, bener, guys. Anak kantor kita ada yang punya koneksi sama Mashtama." Wanita dengan rambut bergelombang itu bicara pada kawanannya, tapi berhubung duduknya di sebelah Mary, tiap katanya terdengar dengan jelas. "Kapan-kapan kalau bikin artikel tentang doi, minta tolong sama Mary aja."

Si pemilik nama yang tengah mengunyah pentol terakhirnya nyaris tersedak.

"Ih, ogah!" Mary langsung protes. Tidak terima. "Jangan lewat gue, lah!"

"Gisel, kata gue stop obsesi sama Mashtama." Kawan Gisel yang nampaknya paling waras di antara para fangirl Harold menarik lengan temannya. "Ayo, cepet habisin makannya terus balik. Bentar lagi jam istirahat habis."

Helaan napas lega langsung meluncur dari mulut Mary begitu ia pamit dari gerombolan geng konten. Harusnya kemarin dia tidak mengiyakan saat Harold menawarkan untuk mention akunnya di media sosial. Akan tetapi, naiknya statistik pengunjung profil yang cukup drastis di akun @maryonette beberapa hari ini membuat penyesalan Mary berkurang. Yah, sudah dibayar, dapat engagement bagus pula. Fair enough.

[END] Heart Shutter - MaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang