6.4 The History of Java

Start from the beginning
                                    

Dan anehnya pemuda itu tiba-tiba bertanya. “Fikri, lo nggak pa-pa, kan?”

Kening Fikri mengerut, bingung mengartikan apa maksud dari pertanyaan itu. Apa Aleo berbicara tentang perasaan Fikri pada Aleen? Kalau yang itu, Aleo tidak perlu khawatir lagi karena Fikri bisa mengurusnya. “Gue nggak punya masalah sama hubungan lo dan Aleen, gue—”

“Nyokap lo.” Aleo menyela.

Fikri mengerjap. “Nyokap gue?”

“Efek dari tindakan ini bakal berimbas ke nyokap lo. Karena setelah dia dengar kabar kalau anaknya—”

“Gue tau.” Kali ini Fikri yang menyela. Sekarang dia paham ke mana arah pembicaraan Aleo.

Sebenarnya semalam pun Fikri sempat ragu mengambil tugas ini lantaran memikirkan hal itu. Dia takut Mama akan shock besar, terlebih lagi saat ini Mama sedang overprotective padanya setelah insiden penculikan kemarin. Tapi pada akhirnya Fikri meyakinkan diri kalau dia tidak boleh berhenti begitu saja.

“Jadi gimana? Lo mau lanjut atau berhenti aja? Kita masih punya waktu buat batalin semua ini.”

Fikri menatap tidak percaya, Aleo yang selama ini ia yakini punya sifat egois, hari ini justru memberi Fikri pilihan.

Dan mungkin karena Aleo tau apa yang sedang Fikri pikiran, makanya si berandal itu berkata. “Ngasih tau kelemahan kita ke musuh, emang termasuk kesalahan fatal. Tapi serius Fik, gue sensitif sama semua hal yang berhubungan dengan Ibu gue, apapun itu. Dan gue takutnya lo juga kayak gitu.”

“Ya, gue juga emang gitu.” Fikri menyahuti. “Gue sayang banget sama nyokap gue, tapi gue juga nggak bisa berhenti di sini. Pas kita berhasil keluar dari tempat penyekapan, gue sadar 100% kalau sebenarnya detik itu juga kita udah ngibarin bendera perang ke Avia. Jadi nggak adil buat kalian kalau gue berhenti di tengah jalan cuma karena takut dibenci nyokap.”

Aleo mengangguk, wajahnya serius. “Gue janji, gue janji di perang ini kita pasti menang. Nggak akan ada adegan eksekusi mati seperti yang menimpa Kyai Zainal Mustofa pas berjuang ngelawan imperialisme Jepang tahun 1944. Trust me.” Menepuk bahu Fikri 2 kali, pemuda itu kemudian pergi dari sana.

Fikri memejamkan matanya, dari awal dia sudah tau kalau rencana Aleo punya banyak risiko. Semakin dibenci oleh Tuan terhormat Madaharsa Tansadanu, serta kemungkinan ikut dibenci olah Mama, hanya salah satu dari sebagian besar risiko itu.

... di perang ini kita pasti menang.

Namun jujur kalimat meyakinkan dari Aleo mampu membuat Fikri merasa kalau semuanya akan baik-baik saja. Apapun risikonya.

-

Bab 34 “The History of Java”

•••

Memasuki stadion sepak bola milik Aritcers, Aleo menghentikan langkahnya di tribune paling atas. Mengedarkan pandangannya, matanya memicing mencari keberadaan seseorang. Begitu sosok yang dicari tertangkap oleh netranya, pemuda itu menyeringai, nice! Sejauh ini semuanya benar-benar berjalan sesuai harapan.

Dengan suasana hati yang baik, Aleo kembali melangkahkan kakinya, kali ini pemuda itu bahkan berjalan sambil bersiul-siul ria. Agar gerak-geriknya tidak kentara mencurigakan, Aleo sengaja memfokuskan matanya pada permainan sepak bola yang sedang berlangsung. Hanya latihan, bukan pertandingan.

“Yo!”

Bagus sekali, semuanya benar-benar akan terlihat natural lantaran Vero yang sedang duduk di bangku cadangan malah memanggilnya duluan. Dan orang itu (target Aleo) juga memang ada di sana.

RABIDUS FAMILIAWhere stories live. Discover now