0.0 Prolog

1.2K 62 7
                                    

Cerita ini hanya fiktif belaka, fiksi, dan tidak berdasarkan kenyataan.

“Prologus”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Prologus

•••

Sore itu, di atas mobil hitam yang dikendarai oleh Papa, Aleen duduk tenang sambil mengintip dunia luar lewat jendela di sampingnya. Jejeran pohon tinggi di luar sana bergulir cepat secara terus menerus. Papa bilang mereka akan pergi ke rumah Nenek. Namun ini sudah terhitung 2 jam mobil Papa hanya melaju di kawasan hutan belantara. Aleen jadi bertanya-tanya, sebenarnya seperti apa wujud rumah Nenek? Kenapa bisa terdampar di tempat yang terisolasi begini?

Alunan musik klasik yang sengaja Papa putar lama-kelamaan membuat Aleen melamun, melamunkan Mama. Lima bulan lalu, wanita yang sangat Aleen sayangi itu, resmi pergi untuk selamanya. Hingga sekarang Aleen hanya tinggal bersama Papa. Jujur Aleen tidak terlalu dekat dengan Papa. Selain faktor karena Papa orang yang sibuk, Aleen juga memang tidak pernah menanyakan tentang Papa pada Mama. Akhirnya Aleen benar-benar buta informasi terkait pria yang tengah fokus menyetir di sampingnya saat ini. Selain profesi Papa sebagai Dokter bedah, sungguh Aleen tidak tau apa-apa lagi.

Huh, dasar anak durhaka!

Tapi itu benar. Aleen bahkan tidak tau kalau ternyata Papa masih memiliki keluarga. Kalau bukan karena alasan pindah tempat tinggal ke rumah Nenek, Aleen mana tau kalau ternyata Papa masih memiliki keluarga. Dua minggu lalu, tepat setelah hasil ulangan kenaikan kelas keluar, Papa secara tiba-tiba memberitahu kalau mereka harus pindah ke rumah Nenek. Aleen ikut saja, toh sekarang yang dia punya hanyalah Papa.

“Kita hampir sampai.”

Suara hangat Papa membuat Aleen sadar. Lantas ia memalingkan muka melihat ke arah depan. Jalanan gelap yang sedari tadi mereka lalui berubah cerah ketika kawanan pepohonan di tepi jalan berganti menjadi danau yang luas. Mulut Aleen sedikit terbuka, takjub melihat jalanan jalur dua yang membentang di atas danau. Jalur dua yang meliuk beberapa kali, sebelum akhirnya Aleen menyadari bahwa di ujung sana ternyata ada gerbang kokoh yang menyambut. Jejeran abjad yang tersusun di permukaan gerbang itu langsung saja mencuri perhatian Aleen.

Receperint ad ADHINATHA familia residentiae.

Ha? Aleen melongo.

“Bahasa latin,” Papa memberitahu, sepertinya dia tau apa yang Aleen pikirkan. “Artinya, selamat datang di kediaman keluarga ADHINATHA,” katanya membantu menerjemahkan.

Mobil terus melaju, kemudian berhenti ketika sampai di depan gerbang raksasa yang masih tertutup itu. Aleen menoleh pada Papa, penasaran apa yang akan Papa lakukan untuk membuka gerbang besar itu. Namun sepertinya Papa tidak berniat melakukan sesuatu. Beliau malah balik menatap Aleen. Dengan tatapan yang sungguh tidak bisa Aleen tebak artinya apa.

Terlihat sendu namun begitu dalam.

“Aleen,” suara Papa melembut. “Maaf karena Papa udah bawa kamu ke sini. Jujur Papa nggak bermaksud buat bikin hidup kamu tertekan. Tapi Papa nggak punya pilihan lain. Semua ini Papa lakukan untuk masa depan kamu dan juga keluarga ini.”

Jeda.

“Sekali lagi, maafin Papa ya, nak?”

Aleen diam.

Maaf karena Papa udah bawa kamu ke sini.

Papa nggak bermaksud buat bikin hidup kamu tertekan.

Maksud Papa, apa sih? Kenapa kesannya seakan kalau kedatangan Aleen di rumah ini bisa jadi kesalahan?

Aleen menautkan kedua tangannya, pikirannya mulai kacau, perasaannya juga tiba-tiba berubah gelisah. Papa yang menyadarinya lantas menarik tangan mungil itu lalu mengusapnya lembut. Seolah ingin menyalurkan kekuatan pada putrinya.

“Nggak pa-pa. Papa cuma minta maaf aja, kok. Nggak usah berpikir macam-macam.” Kemudian Papa tersenyum, “Jadi ... gimana? Anak Papa udah siap ketemu sama Nenek?”

Aleen menggigit bibir bawahnya. Pertanyaan Papa harusnya bisa ia jawab dengan lantang dan semangat. Tapi, setelah Papa tiba-tiba meminta maaf padanya, Aleen sangat yakin bahwa ada sesuatu yang Papa sembunyikan. Jelas ada sesuatu yang tidak beres di sini.

Melihat Aleen diam saja, Papa menghela napas pendek, “Papa tau kamu pasti bisa, Aleen. Sama seperti mereka, kamu juga anak yang hebat. Karena kalian adalah penerus generasi ke-empat keluarga ADHINATHA. Takdir yang memilih kalian untuk menjadi orang luar biasa. Kalian berlima ... Razel, Sabrina, Fikri, Aleo, dan kamu, Aleen. Papa percaya kalian bisa jadi formasi dan kombinasi sempurna untuk masa depan keluarga ADHINATHA.

•••Disarankan baca sampai bab 5, kalau menurut kalian ceritanya gak menarik skip aja gapapa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••
Disarankan baca sampai bab 5, kalau menurut kalian ceritanya gak menarik skip aja gapapa.

RABIDUS FAMILIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang