CH-12

393 14 1
                                    


Semenjak siuman, Kaza selalu menempel kepada Jackson. Ia masih merasa takut dengan Nindya. Bahkan, saat Jackson akan ke kamar mandi, ia tetap tidak mau lepas dari Jackson. Jackson harus rela menahan hasrat buang air kecilnya hingga Kaza tertidur.

Nindya yang dicueki oleh Kaza hanya bisa pasrah. Ia tahu, bahwa dirinya salah. Harusnya ia tidak marah waktu itu. Namun, semua sudah terjadi.

"Sama ibu dulu ya nak, ayah mau ke kamar mandi sebentar." Dan ini sudah bujukan entah keberapa yang dilontarkan oleh Jackson. Namun, Kaza tetap tidak memperbolehkannya pergi.

"Mau sama ayah aja...." Kaza kekeuh dengan penolakannya. Ia tidak mau ditinggal dan harus berdua bersama ibu.

Sementara Nindya yang duduk di sofa hanya mampu menghela napas. Ia juga sudah berulang kali membujuk Kaza, namun anak itu tidak mau mendengarkannya.

"Tapi ayah udah enggak tahan ini. Memangnya Kaza mau, ayah ngompol di celana?" Mendengar perkataan sang ayah, Kaza langsung menggeleng. Ia tidak mau, ayahnya harus mengompol di celana.

"Ayah boleh pergi, tapi enggak boleh lama." Kaza bahkan menyodorkan jari kelingkingnya sebagai tanda janji kepada Jackson. Dengan segera Jackson melipir ke kamar mandi untuk menuntaskan hasrat buang air kecilnya.

Melihat tingkah keduanya, tanpa sadar Nindya terkekeh pelan. Namun, kekehan itu tidak bertahan lama lantaran begitu menyadari bahwa Kaza sedang menatapnya. Ia memilih berjalan mendekati ranjang pesakitan Kaza.

Sedangkan Kaza, anak itu hanya mampu menunduk begitu melihat Nindya mendekat. Ia memilin ujung selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Ia sebenarnya tidak takut kepada Nindya, ia hanya canggung harus bagaimana. Nindya memilih duduk di kursi sebelah ranjang pesakitan Kaza.

"Kaza masih marah ya, sama ibu?" Nindya menyentuh tangan sang anak yang sedang memilin ujung selimutnya sendiri. Tak ada tanggapan dari Kaza.

"Ibu minta maaf ya, udah marah sama Kaza. Tapi, ibu cuma sakit hati pas tahu anak ibu di perlakukan tidak baik sama orang lain. Ibu enggak pernah suka sama orang yang berbuat jahat sama Kaza, karena ibu sangat menyayangi Kaza." Mendengar ucapan sang ibu, Kaza langsung mengangkat kepalanya.

Begitu tatapan keduanya bertemu, tanpa sadar air mata Nindya menetes. Ia merasa sakit, saat tahu anaknya di perlakukan semena-mena oleh orang lain. Padahal, keluarganya menjaganya dengan sebaik-baiknya. Begitupun Kaza, ia menangis saat ibunya juga menangis. Nindya segera bangkit dari duduknya dan memilih memeluk sang anak. Kaza membalas pelukan sang ibu tak kalah eratnya.

Jackson yang berdiri di ambang pintu menatsp keduanya dengan perasaan haru. Ia juga sama seperti Nindya, yang merasa sakit hati saat anaknya tidak diperlakukan dengan baik. Ia tetap berdiri di ambang pintu memperhatikan keduanya.

"Hik..hiks... Ka-kaza, maafin hiks..ibu." Nindya melepas pelukan keduanya begitu mendengar ucapan sang anak. Ia hapus air mata yang mengalir di kedua pipi sang anak.

"Makasih ya nak, sudah memaafkan ibu. Tapi Kaza juga harus janji sama ibu, kalo ada yang jahatin Kaza lagi, haru lapor sama ibu. Biar ibu tuntut orangnya." Kaza segera mengangguk masih dengan sisa-sisa air matanya.

Jackson mendekat setelah melihat sang istri dan anaknya dari kejauhan. Ia lega,karena akhirnya Kaza mau bersama ibunya.

Jackson mengambil sarapan Kaza di atas nakas. Mungkin sudah tidak bisa dikatakan sarapan, lantaran hari sudah beranjak siang.Anak itu tidak mau makan sedari tadi. Padahal, dokter sudah bilang untuk makan teratur agar cepat keluar dari rumah sakit.

"Kaza harus makan dulu ya, ayah atau ibu yang suapi?"

"Ibu!" Kaza berseru dengan semangat. Melihat Kaza yang begitu bersemangat, Nindya dan Jackson tersenyum. Lantas, Nindya mengambil alih sarapan Kaza. Dengan telaten ia suapi sang anak yang kini sibuk berceloteh dengan sang ayah.

KAIVAN HARZA LEONARD (ON GOING)Where stories live. Discover now