CH-4

644 19 3
                                    


Kaza sudah rapi mengenakan seragam sekolahnya dan sedang menunggu Nindya yang sedang mengambil kotak bekal miliknya. Hari ini, ia hanya akan pergi sekolah bersama Nindya karena Jackson ada keperluan penting di kantor. Tak lama Nindya datang dengan kotak bekal berwarna biru milik Kaza dan meletakkan nya di dalam tas milik Kaza.

Ia sudah memesan taksi online dan sudah tiba. Ia memilih menggandeng tangan sang anak guna berjalan menuju gerbang rumah. Nindya membantu Kaza memasuki mobil dan setelahnya ikut masuk setelah memastikan Kaza duduk dengan nyaman.

Lima menit adalah waktu yang dibutuhkan untuk sampai di sekolah Kaza. Nindya dan Kaza turun dari mobil setelah mobil berhenti tepat di depan gerbang. Tidak sengaja keduanya berpapasan dengan Rafka yang juga baru datang. Rafka membunyikan klakson dan segera menuju parkiran untuk memarkirkan motornya.

Ia sengaja menunggu Nindya dan Kaza karena ingin sama-sama saja ke kelas. Begitu Nindya dan Kaza memasuki area sekolah, ia berlari untuk menyusul keduanya.

"Tante naik taksi ya tadi?" Rafka bertanya tak lupa menyalim tangan Nindya.

"Iya Rafka, karena ayahnya Kaza lagi sibuk makanya enggak sempat nganterin Tante sama Kaza."

"OOO begitu ya Tante."

Ketiganya berjalan melewati koridor menuju kelas dengan diselingi obrolan ringan. Tanpa memperdulikan tatapan siswa-siswi mereka terus berjalan hingga sampai di depan kelas.

"Ibu, Kaza masuk dulu ya sama Rafka." Kaza berpamitan setelah Nindya duduk di kursi panjang yang ada di depan kelas.

"Iya nak, yang rajin ya belajarnya. Rafka, Tante titip Kaza ya selama di kelas."

"Iya Tante, kita pamit ya." Keduanya berjalan setelah Nindya menganggukkan kepala tanda setuju.

Begitu memasuki kelas, banyak yang menatap keduanya. Kaza yang merasa dirinya ditatap memilih menundukkan kepala, sedangkan Rafka membiarkan saja.

Keduanya memilih duduk di bangku masing-masing dengan Rafka yang segera menelungkupkan kepalanya. Ia malas untuk sekolah sebenarnya, namun tidak mungkin ia tidak sekolah karena orangtuanya adalah orang yang mampu.

Melihat Rafka yang menelungkupkan kepalanya, Kaza memilih menatap teman satu kelasnya bergantian. Disana terlihat teman-teman satu kelasnya yang saling bercanda, tertawa dan bercerita. Is juga ingin merasakan hal seperti itu sebenarnya. Namun, dari dulu jarang ada yang mau berteman dengannya. Rafka mau jadi teman satu bangku nya saja sudah syukur. Duku bahkan tidak ada yang mau duduk berdekatan dengannya. Bahkan jika ada kerja kelompok, ia akan disuruh menyelesaikannya sendiri tanpa ada yang berniat membantunya.

Disaat-saat seperti itu, pasti mas Abi-nya akan segera membantunya. Ah, mengingat hal itu ia jadi merindukan mas nya. Ia memilih mengalihkan tatapannya ke arah samping, dimana Rafka yang masih menelungkupkan kepala. Dilihat dari dekat seperti ini, Rafka berkali-kali lipat lebih tampan. Kaza akui, ketampanan Rafka memang diatas rata-rata. Pantas saja siswi-siswi menatap Rafka dengan pandnagan kagum.

"Ngapain natap gue kayak gitu?" Kaza sampai tidak sadar jika Rafka sudah membuka mata karena sibuk mengagumi wajah Rafka.

"Rafka ganteng ya, sama kayak mas nya Kaza." Anak itu memberi cengiran saat melihat kernyitan di dahi Rafka.

"Lo juga ganteng kali."

"Kalo Rafka itu, ganteng nya komplit. Udah ganteng, fisiknya juga sempurna lagi. Enggak kayak Kaza yang enggak sempurna."

"Lo enggak boleh kaya gitu, Lo harusnya bersyukur karena masih ada yang lebih parah dari lo. Lo kan masih bisa ngomong, makan, mendengar dan melihat, walaupun Lo jalan agak susah." Kaza menunduk mendengar ucapan Rafka. Jika dipikir-pikir, perkataan Rafka memang benar. Ia masih bisa berbicara, mendengar, melihat dan makan dengan layak.

"Lo itu masih beruntung Za. Meskipun fisik Lo enggak kaya orang lain, tapi Lo punya orang tua yang sayang banget sama lo. Enggak kaya gue, punya orang tua tapi berasa enggak punya."

"Maafin Kaza ya Rafka, Kaza udah ngomong sembarangan."

"Harusnya tuh ya, Lo minta maaf sama diri Lo sendiri dulu baru orang lain." Kaza menganggukkan kepalanya seperti bocah TK saja.

"Tapi, emangnya orang tua Rafka kemana? Kok Rafka ngomong kayak gitu?"

Rafka menghembuskan nafas begitu mendengar pertanyaan dari Kaza. Sederhana memang, namun tidak untuk Rafka.

"Enggak usah dijawab sekarang ya Za. Suatu saat, gue pasti cerita kok sama lo."

Rafka belum siap untuk menceritakan semuanya kepada Kaza. Saat ini ia tidak ingin membuka luka lama lagi. Namun, mungkin jika ia sudah tidak dapat menampung segala masalahnya, ia akan berbagi melalui certia.

Siswa-siswi yang tadi ricuh, kini berhamburan duduk di bangku masing-masing, karena guru yang akan mengajar sudah datang. Gurunya seorang laki-laki, berkepala plontos dengan badan yang gempal. Dan jangan lupakan kacamata yang bertengger di atas hidungnya.

"Kayaknya gurunya bakalan galak deh." Rafka tiba-tiba memberikan argumennya.

"Kaza enggak tau Rafka."

"Perkenalkan, saya adalah guru matematika dikelas ini. Nama saya Burhan Guntomo, kalian bisa memanggil saya pak Bur." Bak Burhan menjeda sejenak.

"Kali begitu, kita mulai saja pelajaran hari ini ya."

Sebagian siswa-siswi menggerutu kesal karena malas belajar matematika. Ini masih terlalu pagi untuk membahas matematika. Pelajaran akhirnya dimulai dan siswa-siswi mulai menulis apa yang ditulis oleh Hani di papan tulis.



















Sorry for typo 🙏🏽

KAIVAN HARZA LEONARD (ON GOING)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora