Bab 12

39 3 0
                                    

Kacau. Kata itu menggambarkan betapa buruknya dua hari yang harus dijalani Hana. Di saat seperti ini, dia merasa tidak ada yang sempurna dalam hidup.

Kemarin, Tantri berhasil merusak mood-nya. Ketika seharusnya dia ikut merayakan kebahagiaan sepasang pengantin baru, dia justru terjebak bersama Tantri dan segala omong kosongnya.

Lalu, hari ini, seseorang kembali merusak suasana hatinya. Ayah kandung Arini tiba-tiba mengirim pesan dan muncul di depan rumah.
Arfan datang bersama Datuk. Atau, lebih tepatnya diantar oleh Datuk ke rumah ini, karena Hana tidak membalas pesan mantan suaminya itu.

Merindukan putri semata wayang, katanya.

Setelah pintu rumah terbuka, dan Arfan duduk di kursi ruang tengah, Datuk meninggalkan mereka. Keduanya harus menjaga kepercayaan yang diberi oleh Datuk.

Meski Hana tidak siap dengan kehadiran laki-laki itu, tetapi, dia tetap menyambut baik kedatangan Arfan. Dia bersikap layaknya tuan rumah. Menyajikan secangkir kopi, serta beramah-tamah dengan pertanyaan yang sangat-sangat basi.

Dia hanya ... menghargai perjuangan Arfan untuk bertemu Arini.

Hana tidak boleh menyimpan perasaan memiliki Arini seutuhnya, bukan? Arfan berhak bertemu putrinya, dan Arini ... berhak mengenal ayah kandungnya.

Ketika dia bertanya, kenapa Eyang Uti dan Indira tidak kembali ke rumah, padahal mereka tahu soal kedatangan Arfan, mereka menjawab 'males, ah. Nggak ada urusan'.

Ya ... Benar. Karena yang memiliki urusan dengan laki-laki itu adalah Arini. Atau mungkin ... dirinya sendiri.

Di ruang tengah itu, Hana bisa melihat bagaimana Arfan berusaha mendekatkan diri. Namun, Arini bukanlah tipikal anak yang mudah untuk beradaptasi. Dia tidak mudah berbaur. Butuh waktu untuk benar-benar bisa merebut hati sang putri.

Jarak yang terbentang luas di antara mereka, sedikit menyulitkan Hana sebagai perantara. Ini seperti mereka berada di tempat yang sama, dengan vibes yang berbeda.

Ketika melihat Arfan mendekati Arini, Hana hanya diam. Dia cukup mendengarkan.

"Arin ... Mau beli jajan?"

Hana mendengar suara Arfan. Lalu, dia menengok ke arah Arini.

Putrinya menggeleng. "Ndak ...," jawab Arini.

"Mau beli mainan?"

"Ndak ...,"

Berulang kali, hanya kata 'tidak' yang keluar dari mulut Arini. Dia berlari ke sana-ke mari. Tertawa bersama Mamas yang kebetulan sedang bermain di rumah. Arini lebih tertarik mengajak Mamas berbicara. Dia mengabaikan dua manusia berbeda jenis di sekitarnya.

Hana tidak tahu harus melakukan apa. Dia ... Canggung? Beberapa tahun lalu, statusnya masih menjadi istri Arfan. Sekarang? Dia tidak bisa merasa santai ketika berbincang dengan duda beranak itu. Dia takut.

Jadi, dia beranjak. Dia membuka lebar pintu utama, jendela, dan apa pun yang sekiranya dapat melindungi dirinya dari omongan tetangga. Mulut tetangga lebih berbahaya dari petir yang tiba-tiba menggelegar di siang hari ini.

Di halaman rumah itu terparkir mobil berwarna hitam metalik--milik Arfan.
Beberapa minggu yang lalu, Arfan mengirim sebuah foto. Mobil keluaran Hyundai Departemen itu menjadi salah satu caranya untuk belajar mandiri, katanya. Hana menanggapi dengan mengucapkan selamat, dan bersyukur karena Arfan berhasil mewujudkan salah satu mimpinya. Tapi ... Setelah itu Hana bertanya-tanya, kenapa pula dia harus tahu pencapaian mantan suaminya itu?

Dia tidak mengerti dengan pemikiran Arfan.

Atau ... Arfan berfikir hal itu bisa menarik perhatian Hana dan mereka bisa rujuk kembali? Astaga! Hana benar-benar berprasangka buruk pada pria itu. Titik hitam di hatinya akan terus membesar jika berkaitan dengan Arfan.

Jodoh JandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang