BAB 6

60 3 0
                                    

Mohon koreksinya kalau ada typo ya teman-teman. 🥰

***

Tidak ada ucapan selain permintaan maaf karena belum bisa memberikan keutuhan di masa golden age Arini. Putrinya harus melewati masa emas bersama dirinya. Meskipun begitu, Arini harus tahu kalau dirinya memiliki support system terbaik. Ada Ibu, Datuk*, Eyang Uti, dan Bulik Indira yang akan selalu menjadi garda terdepan untuk melindunginya. Arini harus tahu kalau kehadirannya sangat dinantikan oleh keluarga, dan Arini harus tahu kalau ... mereka semua mencintainya.

"Uti ... Mamam?"

Bolehkah Hana merasa bangga?

Putrinya, yang belum pernah merasakan kehadiran 'Ayah' secara nyata, memiliki perkembangan yang sangat baik. Dia ramah kepada orang-orang di lingkungannya, menawarkan kebaikan, menyalurkan kebahagiaan. Arini mampu beradaptasi, menjadikan dia sebagai salah satu anak yang disayangi. Seperti pertanyaan itu, dia menawarkan makanan kepada Eyang Uti.

"Makasih, ya. Uti sudah makan." Eyang Uti tersenyum. "Arin mau nambah?"

"Ndak," Arini menyodorkan cangkir yang dia gunakan, "Minum."

"Mau minum?" Eyang Uti bangkit, berjalan menuju dapur untuk mengambil air. Dia kembali setelah mendengar teriakan Arini. "Sayang, nggak boleh kayak gitu, ya. Kan minumnya lagi diambil Uti."

Arini menoleh pada Hana yang sedari tadi tampak diam, lalu, menerima cangkir berisi air minum dari Eyang Uti. Digenggamnya pegangan cangkir dengan satu tangan, diminumnya air itu secara perlahan, lalu, dia mengembalikannya kepada Eyang Uti. Dia berdiri, seolah meminta izin kepada Hana untuk bermain. Arini melintasi pintu, dia sarungkan sepasang sendal merah jambu di kaki mungilnya itu, lalu, berkata. "Mamas ...,"

"Arin mau main ke rumah Mamas?"
Arini mengangguk. "Mamas ...,"

"Hati-hati, ya."

Arini berjalan, meninggalkan ibunya yang berdiri di teras rumah. Sesekali, dia menoleh ke belakang untuk memastikan ibunya masih berada di sana.

Hana memperhatikan bagaimana langkah-langkah kecil itu menjauh. Mungkin, suatu hari nanti dia benar-benar akan mengantar Arini. Untuk pendidikannya, untuk cita-citanya, atau ... untuk rumah tangganya.

Dia berbalik ketika Arini telah masuk ke dalam rumah tetangga. Duduk di samping Eyang Uti yang tengah mengelus puncak kepala Topokki—si kucing keluarga, di ruang tengah.

"Akrab banget sama Mamas, ya."

"Temen satu-satunya, sih." Hana kembali berdiri, kembali menuju dapur untuk mengambil sapu, kemudian mengumpulkan sisa-sisa makanan Arini menjadi satu. Di bahunya sudah tersampir kaos oblong yang tidak layak pakai. Dia basahkan dengan air, lalu, di bersihkannya butiran nasi di lantai. Sudut-dudut dapur dia bersihkan, juga beberapa piring dan gelas kotor di sink dia cuci dan keringkan. Dia meletakkan sapu di tempat semula, lalu, kembali duduk di samping ibunya. "Mah ... mau denger cerita, nggak?"

"Apa?"

Hana tidak yakin dia mampu menceritakan ini, tetapi, sekali lagi, bolehkah Hana berbangga hati?

"Kemarin Mamas main ke sini bawa mobil-mobilan, kan. Terus si Arin ngajak main bareng. Tapi ... Mamas nggak mau. Dia ngasih boneka, nyuruh Arin main sendiri." Dia berdehem, lalu melanjutkan. "Ngamuk lah si Arin, kan."

"Ya kalau nggak mau main bareng harusnya nggak usah dibawa ke sini."

"Terus Mamas pulang. Kejadiannya itu kan siang, ya. Jadi ... selesai ngamuk dia tidur. Bangun-bangun dia nanyain Mamas." Matanya berkaca-kaca, tapi, jelas menunjukkan bangga luar biasa. "Tau nggak, Mah? Dia ngomong apa pas mereka main bareng sore harinya itu?"

Jodoh JandaWhere stories live. Discover now