BAB 5

54 3 2
                                    

April, 2021

Hari-hari setelah pernikahan itu cukup berat bagi Hana. Bukan karena Arfan, melainkan oleh lingkungan sekitar. Upaya yang dilakukannya membuahkan hasil. Dia hamil. Hana menjaga kandungannya dengan baik. Mengkonsumsi makanan sehat dan mengunjungi dokter kandungan setiap bulan.

"Jangan terlalu sering USG," ujar ibu mertua Hana, ketika dia mengatakan ingin melihat keadaan bayi di dalam kandungannya. "Nanti bayinya cacat."

Ada banyak sekali kalimat-kalimat 'sepele' yang menyinggung Hana. Seperti ketika dia tengah berkumpul dengan kakak iparnya, "Ibu hamil tuh nggak boleh pakai wewangian gitu. Udara yang dihirup nanti bisa mengganggu perkembangan janin."

"Mas Arfan lho ngerokok, Mbak."

Kakak iparnya menoleh, "Ya, kamu yang menghindar, dong."

Dia pikir, sembilan bulan mengandung sudah cukup untuk mereka mencibir keadaannya. Namun, empat puluh hari masa nifas pun dilewati Hana dengan derai air mata. Tiga bulan setelah melahirkan, dia meminta untuk dipulangkan. Hana ingin melewati masa meng-ASI-hi dengan tenang. Lalu, setelah berbulan-bulan di rumah Mama, Arfan membujuknya untuk kembali. Dia kukuh. Tidak akan kembali pada manusia-manusia congkak itu.

Sampai ketika surat perceraian itu datang, dia merasa lega.
Setelah itu, hanya ada Hana dan sang putri. Tidak ada lagi cinta, Tidak ada lagi ketakutan akan  hidup tanpa seorang pria. Dia yakin pada keputusannya dan dia tidak takut menjadi janda.
***

Tidak ada lagi kegiatan yang dia lakukan beberapa pekan terakhir. Tidak pernah lagi mengecek ruang obrolan masa lalunya. Dia ... Tidak akan kembali pada siapa pun. Mungkin, bukan mereka yang tidak baik untuk Hana. Tetapi, wanita itulah yang tidak pantas untuk mereka.

Dia ... Menyerah. Tidak ingin lagi berharap pada manusia.
Mungkin, dia sudah terlalu jauh dari kebenaran. Dia terlena pada pemandangan indah yang menyesatkan. Mungkin, karena dia terlalu banyak mengecewakan. Pendidikan, pernikahan, rumah tangga dan hal lain yang dia anggap lumrah. Orang-orang di sekelilingnya tak dihiraukan.

Dia sadar kekeliruannya. Dia tidak sekuat itu. Dia lemah. Terlalu lemah untuk ukuran wanita yang sudah bergelar 'ibu'. Namun, dia harus baik-baik saja. Tetap 'baik-baik saja' meski dia ingin  sekali mengeluarkan sumpah serapah. Mungkin, memang lebih baik diam saja. Tidak usah bersuara sekalipun mereka memancing amarah.

Jika mereka bertanya perihal penyesalan, Hana akan menjawab kalau ... Dia tidak merasakan itu.
Kehadiran Arini adalah anugerah. Hal terindah yang hadir dalam hidupnya. Putrinya adalah kekuatan, sumber kebahagiaan. Jika dia menolak permintaan keluarga waktu itu, dia mungkin belum bertemu dengan Arini di usianya sekarang.

Dia mungkin masih terus mengharap pada Riga. Menjadi wanita melankolis setiap harinya. Dan melakukan berbagai upaya untuk bisa kembali bersama. Dia ... Akan lebih gila.

Kini ... Dia Ikhlas.

Dia bersyukur memiliki orang-orang baik di sisinya. Mama, Papa, Indira, Hikam, dan Nindy. Orang-orang yang tidak menghakiminya selepas perceraian. Orang-orang yang selalu mengatakan, "Tidak apa-apa. Mungkin, jodohnya memang sebatas itu." Atau, "Nanti cari suami yang dekat-dekat sini aja, Na. Biar kita bisa mantau kamu."

Meski sesekali, dia akan bertanya kepada diri sendiri. Siapa yang akan mengisi kekosongan ini? Siapa orang 'sekitar' yang mau menerima si janda beranak ini? Dia mungkin bisa hidup tanpa seorang pria, tapi, bagaimana dengan putrinya? Hana ingin menjadi seseorang yang mengalah demi Arini. Tetapi, semenjak satu bulan yang lalu, tepat setelah dia memutuskan untuk tidak lagi melibatkan masa lalu,  dia belum juga bertemu dengan 'orang dekat' itu.

Jodoh JandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang