BAB 1

92 5 11
                                    

Agustus, 2014

Ruangan berwarna hijau dengan beberapa hiasan itu penuh dengan sorak sorai remaja yang baru saja bergabung dengan sekolah impian mereka. Riuh tepuk tangan dan tawa mereka seolah tidak memberikan kesempatan kepada siapa pun untuk berbicara. Dari bangku paling belakang, Hana bisa melihat lelaki dengan rambut hitam tebal dan tinggi badan yang ideal itu tengah berbincang dengan teman barunya. Sosok yang ia kenal sejak sekolah menengah pertama.

Kala itu di bawah sinar matahari, mereka duduk berdampingan di lapangan futsal sembari mendengarkan pidato kepala sekolah. Percakapan hari itu sangat membekas dalam ingatan sang gadis.

"Kenalan, dong. Aku Hana. Kamu?" tanyanya seraya mencabut beberapa rumput di sela paving block lapangan sekolah.

Laki-laki itu menoleh, memastikan perempuan di sampingnya tengah berbicara dengan siapa. Lantas, ia menjawab, "Riga."

Masa-masa sekolah menengah pertama terlewati dengan baik. Tidak ada yang istimewa, selain tukar sapa di beberapa pertemuan. Hanya saja, Hana pernah mendengar lelaki itu menjalin hubungan dengan anak perempuan dari sekolah lain.

Kedekatan mereka dimulai ketika resmi menggunakan seragam putih dan abu-abu, berlanjut hingga masing-masing berani mengungkapkan perasaan. Tanpa mengetahui siapa yang memulai terlebih dahulu. Yang mereka tahu adalah mereka saling menerima. Atau lebih tepatnya hanya laki-laki itu.

Karena Hana adalah orang yang selalu menuntut kesempurnaan.

"Akhirnya aku punya kekasih."

"Sebelumnya juga, kan?" tanya Hana.

"Ya kali itu namanya pacaran. Ketemu aja nggak pernah."

"Tapi kok panggilannya abang-adek?"
Begitu yang Hana dengar saat masa putih-biru.

"Ya masa bapak-ibu?"

"Kan bisa manggil nama aja. Lagian juga seumuran."

"Ya ampun, Na! Harus banget bahas hal itu di hari pertama kita pacaran?"

Hari-hari selanjutnya, hubungan mereka dihiasi oleh tuduhan-tuduhan tak mendasar dari Hana. Seperti, "Kenapa enggak balas pesan aku? Selingkuh, ya?"

Lalu, Riga dengan sabar menjawab, atau bahkan menjelaskan sembari tersenyum. "Ya ampun, beb! Baru seminggu, loh, ini." Atau dengan kalimat tambahan, "aku ketiduran, sayang."

Hal-hal lainnya yang turut memenuhi masa-masa sekolah mereka adalah ketika pembagian jadwal piket kelas dimana Hana dan Riga tidak mendapatkan hari yang sama. Laki-laki itu akan menunggu Hana selesai mengerjakan tugasnya, atau sesekali dia akan membantu membersihkan ruang kelas. Manis sekali!

"Hari ini nggak usah ditungguin, Ga. Hana pulang bareng aku." Ujar salah seorang teman sekelas Hana ketika melihat Riga mengangkat kursi untuk ditaruh di atas meja.

"Pakai apa?"

"Jalan kaki, lah."

"Ya, mending sama aku, lah. Naik motor."

"Halah! motor butut juga. Bonceng cewek, tuh, pake motor gede. Biar keren."

Lalu, Riga akan membalas sikap sarkastis itu dengan kalimat yang mungkin saja membuat kupu-kupu beterbangan di perut Hana. "Nggak apa-apa ya, Na. Kita mulai dari nol bareng-bareng."

Bersama Riga, kadang-kadang perempuan itu merasa senang. Saat diam-diam memperhatikan Riga, perasaan cinta itu menyelinap ke relung hatinya. Sesekali, di lain situasi, dia merasa jenuh dengan kehadiran pria itu.

Jodoh JandaWhere stories live. Discover now