BAB 8

69 3 0
                                    

Srigati, 2009

"Ada anak pindahan dari luar kabupaten."

"Iya. Katanya dia ikut kelas akselerasi."

"Pinter, dong."

"Nggak tahu. Katanya, dia masuk kelas B."

"Kenapa nggak sekelas sama kita?"

"Ya, nggak tau."

Suara siswi kelas lima A sekolah dasar itu saling bersahutan. Ada yang setuju dengan keputusan guru. Dan juga ada yang mengaku keberatan, serta ingin melakukan 'protes' karena merasa tidak adil.

Rumaisha Hana tidak termasuk dalam dua kelompok itu. Teman-temannya mengatakan kalau dia adalah sosok yang mengikuti alur.

Jadi, dia hanya mendengarkan.

"Kantin, yok!"

Biasanya, Hana akan menolak ajakan mereka. Tetapi, hari ini dia mengangguk.

Beberapa bulan yang lalu, Hana menjalani operasi pemotongan 'usus mati'. Namun, dia harus mengikuti ujian kenaikan kelas saat kondisinya mulai stabil, tetapi belum bisa dikatakan pulih. Dia terpaksa menggunakan kantong kotoran ke sekolah, dan membuat beberapa temannya merasa tidak nyaman karena aroma dari tubuhnya.

Sebenarnya, ibu guru memberikan izin untuk mengikuti ujian susulan. Namun, Hana menolak. Dia memilih untuk hadir dan mengikuti ujian seperti biasa.

Mungkin, karena Nindy dan Hikam melihatnya menangis pada saat itu, mereka menjadi lebih dekat hingga hari ini. Mungkin, karena mereka ingin menemani Hana. Keduanya tidak ingin dia menjadi seseorang yang menutup diri.

Dia merapikan buku-buku di atas meja, lalu, diletakkannya pada laci dengan sedikit menjorok ke dalam. Dia bangkit, berjalan di antara Hikam dan Nindy.

Kantin sekolah itu tampak sepi. Mungkin, sebagian dari mereka memilih untuk menghabiskan bekal yang dibawa dari rumah. Ketiganya menyebutkan menu yang sama--nasi goreng dan air putih. Meja paling ujung menjadi pilihan mereka menghabiskan waktu istirahat.

Hana sedikit terganggu dengan sikap Hikam yang meneriakkan nama seseorang. Lalu, beberapa saat kemudian meja itu penuh dengan beberapa murid laki-laki yang Hana kenal.

"Duduk sini, Gam!

"Heh! Enak aja! Nggak ada tempat duduk di sini." Nindy menatap mereka satu per satu. "Meja sebelah, tuh!" Dia menunjuk sisi lain kantin itu.

Beberapa dari mereka memilih menjauh, mengambil tempat duduk  yang tersisa dibanding harus mendapatkan tatapan mematikan dari Nindy. Namun, tidak dengan Agam. Teman seangkatan dari kelas B itu duduk tanpa permisi. Dia tersenyum pada Nindy, yang tengah bersungut-sungut di hadapannya. Segala penjelasan tentang pentingnya saling berbagi dan menghilangkan sifat kikir dalam diri dia jelaskan kepada anak perempuan berkacamata itu. Lalu, satu siswa yang tampak asing di mata Hana mendekat. Tangannya membawa piring berisi makanan yang berbeda dari mereka.

"Nah, ini dia teman baru kita." Agam menyentuh pundak anak laki-laki itu ketika dia duduk dan meletakkan piring ke atas meja panjang di antara mereka. "Kenalin," Dia menatap bergantian manusia-manusia di sana. "Namanya Sudarman."

***

Dia sering mendengar orang-orang membicarakan kehidupannya. Keluarga, pekerjaan, bahkan pasangan menjadi topik pembicaraan setiap kali mereka bertemu Arman.

Ibu-ibu di lingkungan proyek seringkali bertanya, mengapa dia tidak pernah bergabung dengan rekan-rekan lainnya saat malam tiba? Mengapa dia begitu betah berada di camp pribadinya? Lalu, Arman akan menjawab kalau dia terlalu lelah untuk sekadar berkumpul di luar sana.

Jodoh JandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang