BAB 9

72 3 0
                                    

Berada di Rin's Pastry selalu menyenangkan. Setidaknya, sebelum Hana mendengar omelan-omelan Nindy kepada Hikam. Hana bukan orang yang menyukai ketenangan, tetapi, bukan berarti dia sanggup berada di antara keramaian. Dia seharusnya menyadari itu sebelum memulai usahanya. Sebelum menciptakan lingkungan yang mewajibkan 'keramahan' dalam setiap pelayanan.

"Sarapan dulu, lah. Perut kosong tuh bikin penyakit." Ujar Hana, ketika dia kembali mendengar Nindy mengomentari kesalahan Hikam. "Kalau nggak asam lambung, ya, kayak lo gini."

Ketiganya tidak pernah konsisten dalam memanggil. Terkadang, mereka menggunakan aku-kamu jika dalam suasana yang 'baik'. Tetapi, seringnya berada dalam situasi seperti ini membuat mereka tidak lagi memikirkan hal-hal seperti itu.

"Nggak mood, gue!"

"Kamu mau makan apa?" Hikam bertanya. Mungkin, dia enggan menanggapi Nindy. Atau ... Dia menyadari kesalahannya. "Aku beliin, ya."

"Bubur ayam depan apotek Srigati."
Nindy menjawab tanpa berpikir. Cepat sekali gadis itu berubah. Dia menampilkan senyum manis ketika Hikam mengangguk, kemudian laki-laki itu meraih kunci motor di atas meja kasir di hadapan keduanya. Kemudian, dia menambahkan. "Nggak pake kacang, ya!"

Hana terkekeh geli melihat kelakuan Nindy. Wanita itu seolah menjadikan 'omelan' sebagai senjata untuk melumpuhkan Hikam. Dan sepupunya itu, tampak baik-baik saja meski berkali-kali diserang oleh Nindy.


Hana menggeser bar stools di sampingnya. Dia berbalik untuk menunduk, membuka kabinet bawah dan meraih salah satu apron yang dia simpan di sana. Dia sampirkan apron hitam itu di pundak. Lalu, dia berbicara, "Kalo ada kabar kalian saling jatuh cinta dan menikah, gue bakalan ketawa, sih." Dia terkekeh. "Janji, gue!"

"Khayalanmu terlalu jauh, sist." Perempuan itu ikut tertawa. Lalu, dia menarik kursi bar, duduk di sana sembari membenarkan letak kacamatanya. "Kamu jadi ikut event yang kemarin?"

"Enggak."

"Kenapa?"

Apron yang semula berada di pundaknya, kini sudah terpasang rapih menutupi bagian depan tubuhnya. Penampilannya kali ini, hampir mirip dengan kartun yang pernah dia tunjukkan kepada Arini. Kaus putih dengan rok span berwarna hitam, serta tatanan rambut yang dibentuk messy bun dengan sentuhan bandana merah jambu, membuat Hana tampak seperti wanita dalam animasi. "Bentar lagi deadline. Males banget harus buru-buru."

"Riga?"

Dulu, Hana akan berpikir sebelum menjawab. Dia pasti akan berkilah. Atau menjawab dengan kalimat ambigu yang membuat mereka kembali bertanya. Tetapi, setelah hari itu, dia menceritakannya dengan lugas. Tidak ada keraguan dalam setiap ucapannya. "Riga udah masuk daftar hitam. Aku nggak akan menjadikan dia sebagai siapa pun dalam setiap karya aku."

"Dia nolak kamu?"

Hana menggeleng. "Emang udah nggak pantas aja, sih." Dia kembali membuka kabinet bawah, mengambil beberapa keperluan untuk membuat milkcheese sauce. Dia taruh di atas counter table, lalu memutar tubuh, menghadap Nindy. "Gue tuh udah kayak nggak punya harga diri lagi di depan dia. Udah cukuplah pokoknya."

Hana tidak peduli bagaimana Nindy akan menanggapinya. Karena ... Apa yang dia katakan adalah ungkapan hati. Dulu, dia berpikir bahwa dia bisa merebut kembali perhatian Riga. Dia mengira laki-laki itu bersedia menerimanya. Hana selalu berharap Tuhan kembali mempertemukan mereka. Dia ... selalu mencari cara untuk bisa berkomunikasi dengan pria itu. Tetapi ... belakangan ini, dia merasa lebih lega. Dia menjadi tahu bagaimana perasaan laki-laki itu sesungguhnya. Tidak lagi bertanya-tanya, dan dia berterima kasih karena Tuhan tidak lagi melibatkan mereka. Meski sejujurnya, dia sangat tersinggung ketika Riga mengatakan ucapannya hanyalah omong kosong belaka.

Jodoh JandaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz