21 | Consequence

1K 143 18
                                    

“Ma, Jerald datang lagi.” Jerald mengusap pusara ibunya pelan. “Kali ini sama Nino,” lanjutnya lagi.

Nino duduk bersila di samping Jerald, di atas rumput hijau yang selalu dipotong rapi. Nino juga membawa bunga yang akan ia taburkan nanti. Pagi ini, Jerald mengetuk pintu kamarnya dan mengajak Nino pergi ke makam. Awalnya Nino ragu, karena dia masih belum percaya Jerald benar-benar menerimanya sebagai adik, tapi melihat sorot mata penuh permohonan itu, Nino pun akhirnya luluh.

“Mama tenang aja, mulai sekarang Jerald akan jagain Nino terus. Jerald janji, nggak akan ngebiarin Nino sendirian lagi.”

Nino menoleh mendengar pernyataan itu sementara Jerald masih melanjutkan ucapannya.

“Mungkin Jerald bukan kakak yang baik untuk Nino, dan … sikap buruk Jerald ke Nino selama ini udah keterlaluan. Jerald juga udah bohongin Papa, pergi setiap malam dan jadi tukang pukul bayaran. Maafin Jerald, ya, Ma. Sekarang … Jerald mau menyudahi semuanya.” Jerald tersenyum kecil, tapi Nino bisa melihat sorot pedih di sana, dan entah mengapa Nino ingin menghapus sorot itu dari mata Jerald.

Nino masih mendengarkan Jerald berbicara. Mengungkapkan seluruh isi hatinya di depan makam Mama yang membuat Nino pada akhirnya tahu, bahwa Jerald benar-benar sudah menerimanya.

Jerald tidak lagi membencinya.

Jerald juga berjanji kepada Mama untuk menjaga Nino.

Jerald benar-benar mengakui Nino sebagai adiknya.

Semua terasa seperti mimpi, sampai Nino tersentak kaget saat Jerald menarik telinganya dengan gerakkan kecil, tidak kasar, lebih seperti sedang membangunkan Nino dari lamunannya.

“Bunganya, No. Jangan dikekepin mulu,” kata Jerald membuat Nino segera tersadar. Mereka menaburkan bunga itu bersama-sama dan berdoa lagi sebelum meninggalkan makam.

Itu kali pertama Nino pergi ke makam Mama berdua dengan Jerald. Mereka berdua … sama-sama tidak memiliki kenangan dengan Mama. Jerald hanya merasakan kasih sayang Mama hingga dia berusia empat tahun, dan itu pun sudah hilang dari ingatannya, sementara Nino tidak memilikinya sama sekali. Mama meninggal dunia tepat setelah melahirkan Nino, jadi … sebenarnya mereka sama-sama menyedihkan.

Namun satu hal yang Nino sadari, Jerald juga layak mendapatkan permintaan maaf, terutama dari Ayah Nino … tapi, sepertinya itu mustahil.

****

Papa pulang membawa banyak sekali oleh-oleh. Nino sangat senang karena dia menerima sebuah tablet dan ponsel baru dari Om David. Mereka sedang bercengkerama di ruang tengah yang membuat rumah menjadi sangat ramai malam ini.

Ah, tentu saja karena Kiara yang berisik itu terus bertanya kepada Om David tentang ini dan itu, dan suara mulut Nino yang tidak berhenti mengunyah membuat Jerald pasrah menjadi penonton ketiga orang itu.

“Bisa-bisanya Jerald nggak dibawain apa-apa.” Jerald menggerutu sendiri.

“Itu hukuman karena kamu udah bohongin Papa, Jer.”

Jerald mengernyit. “Bohongin apanya?”

“Ck. Nggak usah acting lagi, Papa udah tahu semuanya, tentang kamu yang jadi tukang pukul bayaran itu. Gimana? Dapat uang kan dari pekerjaan itu? Beli oleh-oleh sendiri aja sana,” cibir Papa membuat Jerald terkejut bukan main.

Refleks, cowok yang sedang berbaring di sofa itu mendorong kecil punggung Kiara dengan ujung ibu jari kakinya. Membuat Kiara berdecak dan membalas Jerald dengan sebuah pukulan di betis cowok itu.

“Bukan gue yang ngadu ke Om David,” kata Kiara setelah memukul Jerald. Tentu cewek itu tahu isi kepala Jerald yang sedang menuduhnya.

“Hegan yang lapor ke Papa. Bukan Kiara,” kata Papa semakin membuat Jerald terkejut lagi.

Silent TearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang