6 | Maybe, Someday....

1.3K 175 7
                                    

Jerald menerima tawaran yang sebelumnya ia tolak—setidaknya itu yang ia katakan kepada Hegan sebelumnya. Mengenai pekerjaannya yang tentu saja tidak diketahui papa, membuat Jerald harus berkali-kali berbohong untuk menutupi apa yang selama ini dia lakukan. Namun dia dapat bernapas lega karena David tidak ada sekarang. Entah kapan papanya itu berada di Amerika, Jerald masih tidak habis pikir dengan keputusan yang diambil David.

Jerald tentu tidak kekurangan uang, dia hanya ... mencari cara untuk bersenang-senang dengan jalannya sendiri, dan pekerjaan yang ia lakukan ini adalah cara Jerald meski Hegan menyebutnya terlalu berisiko.

“Bagian lo udah gue transfer,” kata Jerald kepada Hegan melalui sambungan ponsel. “Ya, gue nggak salah kirim. Memang itu buat lo semua.” Jerald menatap pemandangan dari atas balkon kamarnya, mata elangnya yang sangat jeli mendapati sepeda yang tergeletak begitu saja di halaman. Ah, pasti si bodoh itu pelakunya, pikir Jerald. “Nggak, gue baik-baik aja. Nggak ada yang balas dendam seperti yang lo takutin sebelumnya. Mereka nggak akan berani. Lo lanjutin aja tugas lo, cari client yang bener-bener butuh bantuan dan serius. Udah, itu aja.”

“Kan, memang bocah idiot itu biang keroknya,” gumam Jerald ketika ia melihat Nino di bawah sana, berlari tergopoh untuk membawa sepedanya ke garasi.

“Jangan nyebut dia kayak gitu, gimana pun juga dia tetap adik kandung lo.”

Jerald terkesiap ketika suara Kiara mengagetkannya.

“Di mana sopan santun lo?” tanya Jerald yang melihat Kiara sudah berdiri di ambang pintu kamarnya.

“Gue udah ketuk tadi, tapi lo nggak denger kayanya... mungkin, lo terlalu sibuk meratiin adek lo yang selalu lo maki-maki itu?”

“Ch, sok tahu. Nggak usah basa-basi, apa mau lo?”

“Gue cuma mau bilang makasih, kemarin lo udah nolongin gue. Yaaa meskipun gue nggak suka sama lo karena lo sombong dan nyebelin, tapi orang tua gue mengajarkan bahwa gue harus berterimakasih ketika ditolong atau diberi sesuatu.”

“Oh, oke. Kalau udah nggak ada lagi, lo bisa enyah dari depan gue.” Jerald berniat menutup pintu tapi Kiara menahannya dengan salah satu kakinya.

“Gue benci harus bilang ini, tapi... bisa nggak sih, lo melembutkan sedikit aja hati lo yang sekeras batu itu? It's okay kalau lo benci gue, tapi Nino... dia nggak salah apa-apa di sini. Kebencian lo kepada Nino itu salah alamat.”

Jerald mendengkus keras mendengar ucapan Kiara yang membuatnya semakin muak. “Tutup mulut lo itu, kata-kata lo nggak ada gunanya.”

“Nino nggak punya siapa-siapa lagi.” Kiara menarik napas dalam-dalam, berbicara dengan Jeraldian Galendra memang melelahkan. “Lo bilang dia idiot, kan? Lo tahu keadaan dia kayak gimana. Nino nggak bisa merasakan kehidupan yang nornal kayak teman-teman sebayanya. Dia nggak bisa berkomunikasi dengan lancar, kayak lo... yang selalu ngehina dia.”

“Oh, jadi sekarang lo mau membanding-bandingkan penderitaan dia sama gue? Lo mau membuktikan kalau dia yang paling sakit di sini? Sorry to say, tapi itu nggak mengubah apapun, termasuk sikap gue ke dia.”

Kiara menyipitkan matanya, menatap Jerald seolah dia sangat ingin membenturkan kepala cowok itu ke tembok dengan keras. “Lo tahu itu nggak mengubah apapun, lo tahu itu nggak bisa mengembalikan nyokap lo juga yang udah me—”

Fuck off! Lo nggak tahu apa-apa tentang keluarga gue.” Jerald menekan tubuh Kiara ke dinding dan meletakkan tangan kirinya di sisi kepala cewek itu, sementara tangan kanannya memegangi rahang Kiara seolah dia akan mencabut nyawanya detik itu juga. “Lo... orang luar, nggak usah banyak komentar.” Jerald berkata penuh penekanan. “Sekali lagi lo bawa-bawa nyokap gue, lo bakal—”

Silent TearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang