19 | Is It Too Late?

1.5K 183 24
                                    

Jerald memijat tengkuknya yang pegal. Dia baru saja keluar dari kantor polisi untuk dimintai beberapa keterangan karena terlibat perkelahian dengan seorang penjaga wahana bianglala. Jerald mendengkus, itu kali pertamanya dia menghajar seseorang yang tidak sepadan dengannya.

Mau bagaimana lagi, emosinya sudah tidak dapat dibendung, apalagi saat dia mendengar penjaga wahana itu sempat mengumpat dan mengatai Nino sebelum menonjok bocah itu hingga terkapar di tanah. Jadi, jangan salahkan Jerald jika dia memberi perhitungan.

“Damai, ‘kan?”

Pertanyaan Kiara menyambut kedatangan Jerald begitu cowok itu membuka pintu kamar rawat Nino. Kiara membawanya beberapa saat yang lalu menggunakan taksi online sementara Jerald baru menyusul karena dia tertahan di kantor polisi.

“Jer, kalian damai, ‘kan? Penjaga wahananya nggak nuntut lo dan masukin lo ke penjara, ‘kan?” tanya Kiara lagi membuat Jerald berdecak.

“Harusnya si bajingan itu yang gue tuntut, orang dia duluan yang mulai.” Jerald mengambil air mineral yang ada di nakas di samping ranjang Nino. Dia meminumnya beberapa tegukan lalu menatap Nino yang masih terpejam.

“Tapi lo bikin dia babak belur. Gue sih nggak masalah lo hajar dia, dia pantes dapetin itu, tapi yang jadi masalah saat polisi ada di sana. Lo … tahu, kan? Kadang-kadang hukum di negara kita ini sebercanda itu?”

Kiara meremas kedua tangannya, cewek itu memang enggan terlibat dalam masalah sekecil apapun, berbeda dengan Jerald yang selalu mode senggol bacok.

“Nggak. Semuanya udah clear, yang tadi jangan lo pikirin lagi,” ucap Jerald membuat Kiara menghela napas lega.

“Ah, syukurlah. Gue nggak mau Om David jantungan karena dengar kabar yang aneh-aneh dari lo.”

“Nino belum bangun?” tanya Jerald. Dia duduk di samping ranjang Nino sambil menatap remaja itu penuh rasa bersalah.

“Tadi sempat bangun minta minum, terus sekarang tidur lagi. Tapi kata dokter udah boleh pulang. Lukanya juga udah diobatin.”

Jerald mengangguk, tapi dia tidak mengatakan apapun selain diam memandangi Nino. Selama ini, Jerald tidak pernah mau mengenal anak itu. Yang dia tahu hanyalah dendam dan cara memukul orang. Bagi Jerald, Nino hanyalah mimpi buruk dalam hidupnya. Tidak ada yang dia senangi dari adiknya itu selain rasa benci.

Namun, melihat Nino terbaring seperti ini, membuat Jerald pedih sendiri. Cowok itu baru menyadarinya, kalau Jerald masih memiliki papa yang merawat dan memberinya kasih sayang serta menjamin apa-apa untuk masa depannya, lain lagi dengan Nino yang tidak memiliki apapun di sisinya selain Kiara. Kedua orangtuanya telah pergi. Nino juga tidak sempat merasakan bagaimana cinta dari seorang ibu karena mama meninggal ketika melahirkan bocah itu.

Tangan Jerald terulur perlahan, mencoba menyentuh tangan Nino yang tampak pucat di atas perutnya.

“Kak Kia….”

Gerakan Jerald terhenti saat mendengar suara Nino, lalu kedua pasang mata mereka pun bertemu. Jerald membeku tanpa berkedip, sedangkan Nino mengerjap bingung sesaat, sebelum raut wajahnya berubah seketika dan dia memalingkan pipinya ke arah tembok.

Jerald mengerti, pasti Nino masih berpikir dia membencinya, karena bagaimanapun juga Nino sempat mendengar pengakuan menyakitkan itu ketika mereka di makam.

“Nino, Nino mau apa? Makan?” tanya Kiara yang bergerak cepat.

Jerald pun berdiri, dia menjauh sambil memgawasi interaksi kedua orang itu dari belakang.

“Pu-pulang…,” bisik Nino kepada Kiara.

“Nino udah enakkan badannya?”

Nino mengangguk. “Pulang,” kata Nino lagi.

Silent TearsΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα