18 | The Memories We'll Never Have

1.1K 162 11
                                    

“Tapi itu dulu, sekarang … Jerald belajar melupakan dendam itu.” Jerald menghapus air matanya yang jatuh. Dia mengusap pusara mamanya yang basah karena gerimis. “Sekarang, Jerald sedang mencoba menerima Nino, Ma. Sebagai adik Jerald.”

Jerald mengangguk, seolah mendapatkan kekuatan kembali untuk berpijak. “Jerald sadar, Mama nggak akan bisa kembali lagi, mau sekeras apapun Jerald berusaha membenci Nino … itu nggak akan bisa mengembalikan Mama.”

Lalu cowok itu berdiri, dia menatap lama makam sang ibu meski gerimis mulai membasahi tubuhnya. “Jerald pulang dulu, Ma.”

Jerald pulang dalam keadaan basah. Namun setidaknya, gerimis yang membasahi sekujur tubuh Jerald beberapa saat lalu dapat menyembunyikan jejak basah di pipinya.

“Mana Nino?” tanya Kiara yang kebetulan ada di ruang tengah.

Mendapati pertanyaan itu, tentu Jerald bingung. “Gue baru pulang, sementara elo ada di rumah dari tadi. Kenapa jadi nanya gue?” Jerald mendengkus tidak percaya.

“Lho, kan Nino pergi sama lo. Gimana sih?”

Kening Jerald mengerut heran. Kakinya yang hendak menapaki anak tangga pun terhenti, kini dia menghadap kepada Kiara dengan sempurna. “Apa maksud lo? Gue nggak ada ajak Nino. Orang gue aja habis dari ….” Kalimat Jerald terhenti, tapi karena sudah terlanjur, dia pun melanjutkan ucapannya. “Habis dari makam nyokap,” kata Jerald lalu segera membuang pandangan ke arah lain.

“Eh?” Kiara mengerjap kaget. Pertama, Kiara terkejut karena Jerald mau mengatakan hal itu dengan jujur, lalu yang kedua … bagaimana mungkin Jerald tidak tahu Nino pergi bersamanya? “T-Tapi tadi Nino beneran ngikutin lo. Dia masuk ke mobil diam-diam karena mau ngasih lo hadiah. Lo beneran nggak ngeliat Nino?”

“Apa? Hadiah? Masuk ke mobil? Bentar, bentar….” Sekarang Jerald yang terkejut. “Lo tahu dari mana dia masuk ke mobil gue?”

Kiara berdecak ketus. “Karena gue yang bantuin Nino. Gue yang ngawasin dari luar, waktu lo masih mandi. Biar Nino bisa masuk ke mobil lo,” ungkap Kiara membuat Jerald membelalakkan matanya.

“Gue nggak ada periksa jok belakang, tadi langsung ke makam dan ….” Dan Jerald mengatakan semua keluh kesahnya kepada Mama. Semuanya. Termasuk kebencian Jerald kepada Nino yang dia pendam selama ini. “Damn!”

Jerald meremas rambutnya frustrasi. Jika benar dugaannya, maka sudah pasti Nino mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Jerald.

“Terus sekarang Nino di mana, Jer? Masa lo tinggalin Nino di makam?!”

Jerald pun bergegas keluar, disusul Kiara yang sudah panik ikut masuk ke mobil. Namun saat tiba di makam, mereka tidak menemukan Nino. Tidak ada siapapun di sana sementara hari sudah semakin gelap.

“Kalau terjadi apa-apa sama Nino gimana? Dia nggak bisa sendirian. Dia nggak pernah sendirian….” Kiara sudah menangis sejadinya. Gerimis masih belum berhenti, Nino pasti kedinginan dan ketakutan di luar sana. “Kalau ada yang jahatin Nino gimana….”

“Dia nggak akan jauh. Dia … pasti masih di sekitar sini, dia nggak akan kenapa-napa.” Jerald mengatakan itu sekaligus untuk menenangkan dirinya sendiri. Area pemakaman itu tidak jauh dari jalan raya, ada banyak toko dan bangunan di sekitarnya. “Mungkin Nino neduh di dekat sini, kita tanya orang-orang itu dulu.”

Jerald dan Kiara menanyai siapa saja yang ada di sekitar tempat itu, sebagian besar dari mereka tidak melihat Nino, sampai akhirnya Jerald dan Kiara bertemu dengan seorang penjual balon keliling yang sempat berpapasan dengan Nino.

“Ciri-cirinya pakai kaus biru muda, Pak. Usianya tujuhbelas tahun, rambutnya hitam. Seperti di foto ini,” kata Kiara sembari menunjukkan foto Nino kepada orang itu. “Bapak melihatnya?”

Silent TearsWhere stories live. Discover now