🍁 17. Spontan 🍁

Start from the beginning
                                    

"Enakan di sana daripada di sini lihat kamu terus," ungkap Rindu dengan tatapan mencela.

"Pacar, kata-katamu menyakiti hatiku." Adiyanto pura-pura sedih. "Padahal aku lebih ganteng daripada Pak Gara."

Rindu memutar bola mata. Malas menanggapi ucapan Adiyanto. Belakangan, dia mulai merasa terganggu dengan sebutan pacar yang tertuju untuknya. Dia tak menutup mata kalau beberapa teman memang melakukan pendekatan padanya.

"Ganteng tapi nggak mapan. Malesin," kata Rindu jengkel.

"Tuh dengar!" teriak Putra, "di mana-mana, cewek maunya pria mapan. Sama aku, ya, Ndu? Nggak usah khawatir soal makan, aku dari keluarga mapan."

"Iya, tapi duit bapakmu!" Rindu memperingatkan. "Daripada sama kamu tapi pakai duit bapakmu, gimana kalau aku sama bapakmu aja?"

"Aduh, Pacar. Ucapanmu bikin hatiku meng-sad!"

Rindu ingin tertawa mendengar bahasa yang digunakan Putra. Temannya yang satu itu memang suka menggunakan bahasa yang dicampur semaunya. Tak ambil pusing, Rindu melanjutkan langkah.

"Serius mau ke tempat Pak Gara, bisa nanti aja, 'kan, Ndu." Adiyanto masih berusaha mencegah.

"Iya." Rindu menjawab tanpa menoleh. "Aku tenggat."

Bagi Rindu, ruangan Segara terasa menyenangkan akhir-akhir ini. Sama dengan sekretariat Mapala yang selalu dia kunjungi hampir setiap hari, sekarang dia memiliki rasa yang sama pada ruangan dosennya.

***

Rindu menapaki tangga demi tangga dengan hati riang menuju ruang kerja Segara. Seperti biasa, dia selalu tersenyum ketika menyapa atau disapa. Di ujung tangga, dia bertemu dengan Irena, dekan fakultasnya yang terkenal moody.

"Selamat siang, Bu Rena," sapa Rindu ramah.

"Siang," balas Irena. "Sampai mana tugas akhirmu?"

To the point sekali, khas Bu Dekan. "Sampai bab tiga, Bu."

"Mau menemui Pak Gara?"

"Iya, Bu."

"Yang rajin, Ndu!" Irena siap berlalu. "Kowe iku sakjane yo lumayan pinter, dolanmu sing kakean (kamu itu sebenarnya lumayan pintar, mainmu yang kebanyakan)."

Rindu hanya tersenyum mendengar ucapan Irena. Sampai sang dekan hilang dari pandangan, barulah dia melanjutkan langkah menuju ruang kerja Segara. Di depan pintu, Rindu berhenti dan mengintip untuk melihat siapa yang berada di ruangan itu selain dosen pembimbingnya.

"Selamat siang, Pak!" Rindu menyapa dengan suara riang setelah tahu Segara sendirian di ruangannya.

"Siang." Seperti biasa, Segara menjawab salam tanpa mengalihkan fokus dari laptopnya. Jarinya menari lincah di atas keyboard. Konsentrasinya sama sekali tak terganggu oleh kedatangan Rindu. "Duduk saja!" Hanya kalimat singkat yang diucapkan Segara, tetapi kesibukannya masih terus berlangsung.

Tatapan Rindu berputar mengelilingi ruang kerja Segara. Meja kerja dosennya masih terlihat sama kecuali di sofa. Ada tumpukan map mika berisi kertas-kertas yang entah apa. Rindu tak tertarik untuk mencari tahu atau sekadar mengintip.

Seperti biasa, Rindu memilih duduk di atas karpet, di depan rak buku Segara. Sambil menunggu laptop menyala, dia melipat tangan di meja, lalu meletakkan kepala di atasnya. Rasanya menyenangkan bisa bersantai sebentar.

"Kamu mau revisi?"

Rindu agak terkejut mendengar suara Segara yang terdengar lebih keras dari biasanya. Dia bangun dan menoleh, kemudian mendapati sang dosen sudah duduk di sofa. Tangannya segera menyambar berkas yang sudah siap, lalu bangkit mendatangi Segara.

Kidung Merah JambuWhere stories live. Discover now