6.3 Imperialisme Jepang 1944

Mulai dari awal
                                    

Sabrina melirik gadis itu. “Lo khawatir ke gue?”

“Ih, enggak ya. Cuma kan kalau lo sekarat, hidup gue bakal monoton, nggak akan ada lagi yang jadi saingan gue.”

“Bukannya itu yang lo mau?”

“Iya sih, tapi kalau lo tersingkir dengan cara nggak aesthetic kayak gini kan nggak asik.”

“Nggak jelas lo.”

Perdebatan itu diakhiri oleh cibiran dari Sabrina dan dengusan dari Razel. Sedangkan Fikri, dia sudah berjongkok di depan Sabrina sambil membalut kaki gadis itu menggunakan sobekan seragamnya.

“Anjir! Konyol banget gue harus jalan dengan kondisi kaki kayak gini.” Komentar Sabrina begitu Fikri selesai membalut kedua kakinya. “Buka aja lah, ini kelihatan aneh banget, sumpah.”

“Mending kayak gini daripada kaki lo makin parah.” Fikri memberi pengertian.

“Tapi—”

“Atau lo aja yang gue gendong? Mau?”

Sabrina menggeleng cepat. “Enggak, nggak mau.”

“Yaudah, gini aja makanya.”

Kembali melanjutkan perjalanan, kali ini Sabrina yang memimpin. Gadis itu berjalan di depan, diikuti Fikri dari belakang bersama Razel yang ada di punggungnya. Awalnya Fikri merasa lega lantaran perjalanan mereka hanya didominasi oleh suara kicauan burung dan suara khas hutan belantara.

Namun beberapa saat kemudian Razel lagi-lagi mencoba memancing keributan. “By the way, tadi lo sempat ngakuin gue sebagai saudara lo kan, Sab?”

Tanpa menoleh Sabrina menanggapi. “Oh ya? Kapan? Kayaknya nggak pernah, tuh.”

“Nggak usah ngelak, Fikri bisa jadi saksinya. Iya kan, Fik?” Tanya Razel, namun Fikri diam saja. Enggan ikut campur.

“Kalaupun itu emang terjadi, berarti gue lagi khilaf.” Ujar Sabrina santai.

“Dih, gegayaan khilaf. Gue jadi curiga jangan-jangan apa yang Aleen bilang semalam emang benar, lo lagi berusaha buat akrab ke gue, kan?”

Di depan sana Sabrina tiba-tiba meludah. “Amit-amit,” katanya dengan nada jijik yang dibuat-buat.

“Ngaku aja, deh. Lo bahkan diam-diam punya nomor gue.”

“Soal nomor itu, tanya aja ke tuan terhormat Yudanta Triasa, bokap lo. Soalnya dia yang ngasih.”

Sepertinya hidup berdampingan dengan Razel dari bayi, juga menjadi penyebab kenapa Fikri begitu sulit memahami kepribadian Sabrina. Terbiasa melihat karakter Razel yang anggun, kelakuan barbar dan blak-blakan Sabrina pada akhirnya selalu sukses membuat Fikri terkejut sendiri.

Mulai dari cara berpakaiannya, gerakan-gerakan tubuhnya, kepalan tangannya yang mungil namun selalu sukses membuat orang yang terkena berakhir merintih, pun dengan gaya bicaranya yang kadang-kadang terdengar kasar dan jauh dari kata sopan, semuanya selalu mampu membuat Fikri tercengang.

Sama seperti sekarang. Sebab patokan Fikri mengenai perempuan bersumber dari Razel, dia jadi meyakini sebuah paham kalau anak gadis tidak akan pernah membicarakan ayahnya menggunakan bahasa yang kurang menghormati. Namun barusan Sabrina melakukan itu.

“Iya, Papa emang cuma bokap gue, bukan bokap lo.” Razel menyahuti.

Bahu Sabrina mengendik. “Ambil aja sih, siapa juga yang mau. Gue mah nggak butuh.”

Razel tiba-tiba melompat turun dari punggung Fikri, gadis itu melangkah menghampiri Sabrina lalu menarik tangan Sabrina secara kasar. “Sabrina! Gue bakal laporin omongan lo ke Papa.”

RABIDUS FAMILIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang