6 - Penggemar Berat

18 4 0
                                    

"Mbak Kania?!" pekik tertahan seorang gadis dengan hijab warna hitam yang kontras dengan kulit putihnya.

"Mona?" Kania tak kalah kaget dengan gadis yang ternyata jauh lebih cantik dibanding dengan foto yang ada di profil sosial medianya.

Mona segera menghambur ke pelukan Kania.

"Aku awalnya ga percaya tau mbak pas mas Mario bilang, mbak Kania itu temennya mas Mario?" Mona melonggarkan pelukannya, terlihat jelas setetes buliran bening lolos membasahi pipi bersihnya.

Kania cepat-cepat mengusap air mata di pipi gadis itu.

"Maasyaallah ga nyangka ya bisa ketemu disini?" gumam Kania tak kalah haru.

Mona hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia kehabisan kata-kata. Kemarin saat kakaknya bilang akan memberinya kado istimewa; bertemu dengan penulis favoritnya dia sempat tidak menggubrisnya, tapi lihatlah sekarang? Kania Azzalea, sang penulis novel kesukaannya berdiri, bahkan memeluk dirinya.

"Mbak.." lagi-lagi Mona memeluk Kania. Dia masih belum percaya, "makasihhh mas!" kali ini gadis cantik itu berganti menghambur ke pelukan kakaknya, Mas Mario.

Tersangka utama malam ini hanya tersenyum puas sambil sesekali membuang napas berat agar tidak ikut menangis bersama mereka. Enak saja, gengsi dong!

"Udah ah, buruan pesen! Mbak Kania ga bisa lama-lama," mas Mario melonggarkan pelukan adiknya, dan segera mengangsurkan buku menu pada Kania dan Mona.

Obrolan berlanjut sambil menikmati makan malam mereka masing-masing. Sesekali Mona melempar candaan pada kakaknya, ternyata sama saja. Kakak adik itu memang sering ributnya, walaupun cuma bercanda.

Malam semakin larut, mas Mario memang sengaja memilih rooftop restoran ini. Langit yang gelap dihiasi bintang-bintang menambah suasana hangat malam ini. Lagi-lagi mas Mario mengulum senyum terindahnya. Kini, dua perempuan yang paling dia sayang setelah almarhumah ibunya sedang tertawa bersama di hadapannya.

***

"Kenapa?" tanya mas Mario seperti tahu berbagai pertanyaan berkecamuk di pikiran Kania.

"Jadi Mona itu adik kandungnya mas Mario?" tanya Kania akhirnya, setelah beberapa saat ia memilih menikmati city light dari balik kaca jendela mobil daripada memulai obrolan dengan mas Mario.

Mas Mario mengangguk cepat, "Aku sama adik keduaku ikut bapak, Mona dan dua adikku lainnya ikut almarhumah ibuk," lagi-lagi pandangan mas Mario menerawang jauh.

Kania hanya mengangguk paham.

"Ibuk berpulang tahun 2010, kemudian bapak menikah lagi tahun 2012. Ga lama kemudian aku lolos cpns dan berangkat Jakarta ninggalin ke-empat adek aku yang akhirnya harus diurus sama bibi. Karena bapak memilih tinggal sama keluarga barunya,"

Dari ekor matanya, Kania melihat mas Mario mati-matian menahan air matanya agar tidak jatuh. Gadis itu segera menyahut beberapa helai tisu kemudian memberikannya pada Mario.

"Thanks Kania,"

Kania mengulas senyum termanisnya, itu menurut mas Mario.

"Semangat ya mas!" hanya itu kata-kata yang akhirnya keluar dari bibir Kania.

Mas Mario terkekeh pelan, "harus dong, demi adek-adek, demi semuanya," lanjutnya.

Kania tersenyum lagi, kemudian kembali mengalihkan pandangannya ke luar jendela.

"Besok ada acara?"

Kania mengingat-ingat sebentar, kemudian menggeleng. "Paling sore mau ke kafe aja mas, nyelesaiin deadline tulisan,"

You Are My LightWhere stories live. Discover now