18-

31 4 0
                                    

Darel berdiri tegap di depan ruangan VVIP dengan balutan jas hitam yang terkancing, tangannya ia masukkan kedalam saku celana dasarnya. Sesekali ia memijat pangkal batang hidungnya, berdecak, melihat arloji dan kembali memasukkan jemarinya di dalam saku. Terus begitu hingga beberapa kali.

Nataela datang menghampirinya dan segera membuka kacamata hitam yang setia menempel di depan matanya. Jas berwarna cream dan rok di atas lutut dengan warna senada. "Apa yang kamu perbuat?" suara dingin itu keluar membuka pembicaraan.

Darel mendecih, "Apa yang saya lakukan?" Darel melirik Natela yang sama menatapnya datar. "Anak itu telah menyia-nyiakan waktu belajarnya, apa saya akan diam saja?"

Natela tertawa pelan, sangat pelan. "Anda menggunakan Karla untuk kepopuleran di sekitar rekan kerja anda, anda terlalu haus pujian tuan Zarvadello." Desis Nataela.

"Apa kabar dengan anda nyonya Nataela? Anda sama dengan saya, ingat. Kita masih suami istri dan anda membutuhkan uang saya." Darel balas membalas dengan decihan sarkas.

"Saya tidak butuh uang anda tuan Zarvadello, bukan kah saya memiliki saham di perusahaan anda? Apa anda tidak takut jika saya mencabut saham itu? Jangan lupa tuan Zarvadello, saham yang saya tanam adalah saham berpengaruh." Nataela menyunggingkan senyum miring.

"Itu hanya di salah satu perusahaan saya-"

"Perusahaan utama dan terbesar milik anda." sela Nataela cepat, mematikan argumen yang akan kembali keluar dari mulut pria itu. Suaminya.

Pintu ruangan terbuka, seorang dokter keluar dengan balutan jas putih serta masker yang melekat di wajahnya. Baik Darel maupun Nataela, mereka hanya diam menatap dokter tersebut. Menunggu kalimat yang akan keluar tanpa bertanya. Dokter itu merasa sedikit canggung. "Kondisi anak anda mulai membaik untung saja luka di urat nadinya tidak dalam dan anda tidak telat untuk membawanya."

"Itu saja." Setelah mengatakan itu, dokter muda yang tampak sedikit kaku karena tatapan dari dua orang berpengaruh di Indonesia itu berlalu pergi.

Darel memasuki ruang rawat anaknya, ia membuka jas hitam yang membalut tubuhnya dan mengambil benda pipih di saku jas. Terlihat kemeja putih yang berlumuran darah merah yang sudah mengering, darah putrinya.

Darel mendekati brankar yang di baringi putrinya sambil memegang ponsel, ia menempelkan benda pipih itu tepat di samping telinganya. "Undur selama dua puluh menit," lalu memustuskan panggilan secara sepihak.

Ia kembali memasukkan benda pipih itu kedalam saku jas, lalu jemarinya masuk kedalan saku celana. Ia menatap putrinya intens, namun datar. "Jangan pergi dulu, saya masih membutuhkan prestasi kamu." hanya kalimat itu yang keluar dari bibirnya.

Ia mengeluarkan benda pipih di dalam saku celananya, meletakkanya di atas nakas yang bersebelahan dengan brankar milik putrinya. lalu pergi.

Karla mendengarnya, ia hanya pura-pura belum sadar dan terlelap. Dadanya sesak, hatinya seperti di remas, dan air matanya lolos. Meskipun mata itu tertutup rapat.

Nataela menunggu di luar, ia lebih memilih masuk sendirian di bandingkan untuk masuk bersama suaminya. Nataela berpapasan dengan Darel yang menyembul dari balik pintu lalu melewatinya begitu saja, segera Nataela masuk kedalam ruangan anaknya.

4-Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon