4. All of The Women He Loved Before

1.8K 224 24
                                    

"Minta upgrade jadi penthouse aja, Dewa kenal yang punya."

Senyum geli Libby merekah. "How could that be the first thing you said after not meeting me for years?"

Berbinar, Libby memandang si lawan bicara yang kini tengah berjalan pelan menghampirinya dengan langkah ringan, namun berayun penuh anggun, seolah sedang tampil di atas panggung runway dikabuti kepercayaan diri yang memikat.

"Okay, sorry. Now, let me try it once again. One, happy wedding, my babe. Two, I'm sorry for not being able to come and be one of your bridesmaids. Three, please buy a fucking penthouse."

Tawa Libby sontak pecah, ia menggeleng pelan. "Sepertinya, lebih baik nabung untuk beli rumah. Penthouse is too expensive, Kimmy."

Kimberly Tan, satu-satunya teman baik yang dimiliki Libby, memutar mata malas. Perempuan dengan lekukan tubuh sempurna itu menaruh small hop bag Bottega Veneta yang sedari tadi dijinjing. "Oh, I forgot that now I'm talking to Libby who always thinks that every single thing in this world is expensive."

Sempat tercenung beberapa saat, Libby kemudian hanya tersenyum tenang. "Karena dari kecil, mama dan papa memang enggak—"

"Right, gue lupa kalau orang tuanya Raline pelit banget ke lo." Buru-buru, Kimberly kembali menambah kalimatnya kala Libby terlihat ingin protes. "That wasn't a Raline shade, please jangan ngomel. Gue lagi ngatain orang tua lo, bukan kakak lo. She's still my friend, okay? I won't talk shit about your lovely sister, duh."

Walau belum begitu puas dengan pembelaan sang teman, Libby memilih untuk tidak memperpanjangnya. Tak berbeda dengan rupa Kimberly yang terlihat menakutkan dan mengintimidasi, perkataan perempuan itu juga mengalir blak-blakan, tak pernah berupaya untuk repot-repot menyaring pemilihan kata agar terdengar lebih halus ketika berbicara. Her thoughts were like a runaway train, barreling out of her mouth without hesitation.

Oleh karenanya, Libby terkadang merasa perlu untuk menegur Kimberly jika perempuan itu sudah mulai membawa Raline masuk ke dalam topik percakapan yang tengah membahas perlakuan buruk keluarganya, walau ia tahu maksud Kimberly menyeret kakaknya hanya untuk digunakan sebagai senjata demi menyerang sang orang tua.

Kalau boleh jujur, Libby memang tidak memiliki hubungan yang begitu dekat dengan Raline. Terlebih lagi, sejak kakaknya itu mulai menimba ilmu di Australia setelah lulus SMA, kemudian lanjut merintis karir ke Prancis. Hampir sepuluh tahun lamanya Raline tidak ingin kembali ke Tanah Air dengan tujuan menetap. Meskipun, komunikasi dua saudara kandung itu tidak terputus, namun tetap saja menimbulkan jarak tak kasat mata antara mereka yang makin terbentang kian bertambahnya hari.

Terlepas dari semua itu, Libby tidak ingin sang kakak mendapat kesan buruk karena orang tua mereka terlihat hanya peduli kepada Raline. Ia paham betul jika saudara kandungnya tersebut juga tidak pernah memilih untuk 'difavoritkan' oleh kedua orang tua mereka. Di lain sisi, Raline adalah anak yang begitu patuh pada segala perintah dan paksaan yang dilimpahkan pada perempuan itu. Hingga, tak banyak yang dapat Raline perbuat ketika harus melihat Libby mendapat perlakuan tak menyenangkan.

Biar bagaimana juga, Libby sangat menyayangi kakaknya itu. Ia akan selalu merasa tak enak hati jika mendengar Raline disalahkan atas perlakuan tak adil oleh kedua orang tua mereka pada Libby. She respected her sister so much, Raline had always been her biggest role model.

"Forget about that shitty parents, your hot mom is here. I'll spoil you, my dearest daughter." Bukan hanya sekadar gurauan, Kimberly benar-benar menyodorkan paper bag dari beberapa luxury brands. Menerima dengan bibir yang mengerucut, Libby merasa matanya mulai memanas.

A Sip of Her Pink DrinkWhere stories live. Discover now