9. Arms Around Her

1.2K 187 32
                                    

Warning: smoking harms you and others around you.

"Don't ever dare to light your cigarettes when Libby is around you."

Bersama dengan kepulan asap yang menari gemulai, aroma tembakau dipadu sentuhan kayu dan rempah-rempah yang lembut ikut menyelusup ke udara mengitari sudut ruangan tepat di mana dua lelaki menempatkan dirinya di atas Standard sofa 4 seater keluaran Edra.

"Bawel," gerutu Jo menanggapi peringatan yang terlontar untuknya barusan dengan tangan yang sibuk meletakkan sebungkus Sobranie Black Russian* ke permukaan meja. "You're the one who should be taught."

Keseriusan yang melingkupi kedua mata Jo terarah menyorot figur Dewa lekat. "I know, sometimes, Libby is kinda annoying. Tapi, pelan-pelan, lah, kalau ngomong sama dia."

Tidak mengerti ke mana arah pembicaraan tersebut, Dewa mengerutkan kening samar membalas pandangan Jo dengan penuh tanya.

"Timbang buatin susu aja berantem."

Oh.

Decakan pelan keluar dari mulut Dewa begitu menyadari bahwa temannya itu tengah membahas kejadian dua hari lalu. Ia mendengkus sekali sebelum akhirnya membuka suara mengoreksi perkataan Jo, "Hot chocolate, bukan susu." Diam-diam, otaknya kembali memutar ulang detik demi detik yang terlewati pada saat sang istri meminta dibuatkan cokelat panas. "Dan gak ada yang berantem. That's just how Libby and I usually talk, no?"

"Adu mulut maksud lo?" Pertanyaan diselimuti nada cemooh yang baru saja Jo sampaikan tentu sudah memiliki jawaban yang diketahui dengan jelas oleh keduanya. Maka dari itu, Dewa hanya bungkam.

"Yeah, right, that's how you both communicate. Tapi, bukannya waktu itu Libby lagi nggak ngajak lo berantem? Cuma lo doang yang ngomel-ngomel sendiri." Setelah berkata demikian, Jo membiarkan keheningan menguasai mereka, meninggalkan Dewa yang terhanyut untuk memproses perkataannya. Sementara itu, ia asik mengetukkan sisa-sisa abu terakhir dari benda membara yang kini sudah hampir habis dilalap oleh nyala api, menyisakan jejak di dalam asbak.

Belum merasa puas, tangan Jo terulur mengambil sebatang rokok lagi. Menjepit di antara jari telunjuk dan jari tengah, kemudian membawa benda berbungkus kertas hitam tersebut ke bibirnya. Setelah dibakar sekilas sampai bara menyala, lelaki itu kembali mengisap panjang, membawa zat kimia bersifat adiktif itu masuk beredar ke dalam aliran darahnya, memberi efek stimulan pada saraf pusat dan memengaruhi sistem neurotransmitter* di otak sehingga meningkatkan perasaan relaks.

Asap kecil terus berembus hingga menciptakan kepulan. Lantas Jo bergumam kecil, "She's on her period." Ia melirik Dewa yang tak berkutik melalui ekor matanya. "Her pain tolerance is zero." Tetap belum ada respon yang diberi oleh sang teman.

"And she adores every single thing about you-bahkan, makan aja maunya buatan lo sampe waktu itu dia sengaja nggak makan dari siang, padahal nugas sampe malem sama temen-temennya." Lelaki dengan tato yang menghiasi sekujur dada dan lengannya itu beralih menepuk-nepuk pundak Dewa dengan perlahan, namun penuh penekanan.

"That's why I wanna punch you whenever I remember Libby had to do all that, especially when she was fighting her fucking period cramps, just to get you mad at her."

And.. gotcha.

Di tempatnya, Dewa mulai bergerak tidak nyaman setelah menghabiskan detik demi detik tanpa reaksi berarti. Laki-laki itu mengusap wajah kasar dengan napas memberat.

Jika dipikir lagi, Libby memang tidak pernah menuruti perkataannya secara sukarela tanpa melewati perdebatan terlebih dahulu. Sang istri merupakan pemaksa ulung yang pantang menyerah sebelum Dewa mengabulkan keinginan gadis itu. Namun, dua hari lalu adalah pengecualian. Libby sama sekali tidak membawa mereka ke dalam sesi argumentasi. Padahal, jika itu merupakan hari-hari biasa, pastilah gadis tersebut akan semangat menyuarakan protes, tak mau berhenti memaksa.

A Sip of Her Pink DrinkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang