1. At Every Table, He'll Save Her A Seat

2.5K 278 54
                                    

Disclaimer: The contents of this story are solely for the purposes of fictional representation. They bear no relation to any real-life individuals or occurrences. Any similarity to actual persons, living or deceased, or to factual events, is entirely coincidental and unintentional. Thank you.

Hal membosankan yang paling dibenci Libby selain menemani Jo dan Dewa berkeliling showroom mobil adalah terjebak dalam pembicaraan basa-basi keluarga. Seperti saat ini, beberapa anggota keluarga besarnya tengah berkumpul di ruang bersantai salah satu rumah kerabatnya yang berada di Singapura. Mereka memang memiliki rencana makan siang, maka dari itu sepakat untuk pergi bersama menuju restoran.

"Raline begitu sampai sini langsung istirahat. Kecapekan itu anak, habis kerja lanjut flight 12 jam perjalanan. Ntar dia paling berangkat sendiri ke restoran." Jawaban Carolina, ibu Libby, mendapat anggukan mengerti dari para sepupu gadis itu yang menanyakan keberadaan kakak perempuannya.

"Memang senang ya si Raline kerja di entertainment begitu? Tahun depan usianya sudah mau menginjak 28 tahun, apa nggak ada rencana ikut tes CPNS Kejaksaan*?" Pertanyaan dari tantenya tersebut sontak memantik kegelisahan Libby, sebab ia tahu ke mana pembicaraan ini akan berakhir.

Di lain sisi, Carolina tersenyum tenang. Ibunya seperti sudah terbiasa dalam menghadapi pertanyaan semacam ini hingga jawaban pun seolah telah tersedia di ujung lidah. "Untuk dekat-dekat ini Raline hanya akan fokus mempertahankan karirnya yang sudah cukup stabil, saya belum mau memaksa dia untuk menjadi jaksa atau hakim seperti keluarga besarnya. Lagi pula, Raline juga sudah melakukan kewajibannya, kan? She graduated with a Bachelor of Laws degree, that's enough for now."

Menyetujui di dalam hati, Libby tak sadar mengeluarkan anggukan atas pernyataan sang ibu. Jika menyangkut kakak perempuannya yang memang begitu membanggakan, Carolina jelas akan pasang badan menjadi ibu yang siap membela sang putri sulung di hadapan semua orang.

"Sayang banget, ya, dua anak gadismu nggak ada yang lanjut terjun ke dunia hukum. Ya.. tapi, setidaknya Raline berhasil membawa nama keluarga hingga ke lintas benua, sih." Tantenya yang semula memandang Carolina, kini beralih memerhatikan Libby. "Kalau kamu sendiri bagaimana? Ngambil jurusan manajemen gitu memangnya sudah kepikiran nanti lulus mau ngapain, Byanca? Kamu sama sekali nggak terlihat kompeten. Jadi, semoga nggak ada pikiran untuk meneruskan usaha keluarga, ya. Karena tante, om, bahkan orang tuamu pasti nggak akan ada yang akan setuju untuk memercayakannya pada kamu."

Bahkan Libby belum sempat menarik napas, akan tetapi Carolina sudah mendahuluinya untuk membuka suara. "Haduh, apa yang diharapkan dari anak pembangkang seperti ini? Hanya bisa bikin sakit kepala memikirkan masa depannya yang seperti nggak punya arah. Coba lihat Raline, memegang pendidikan dan karir yang bagus sampai bisa punya koneksi di mana-mana. Saya mana bisa mengharapkan sesuatu dari Byanca. Jangankan mau menjalin relasi luas, teman saja dia tidak punya. Benar-benar nggak bisa melakukan apapun."

Catali Byanca Rafauri.

Nama yang diberikan padanya sejak lahir, namun keberadaannya tak begitu diakui oleh si pemilik. Perempuan itu lebih memilih nama panggilan yang diberikan Raline. Sejak kali pertama panggilan "Libby" digumamkan oleh saudara kandungnya, gadis itu seolah telah menghapus eksistensi nama pemberian sang orang tua dari kepalanya.

Merunduk dalam, Libby memilin jari dengan perasaan tak karuan. She had always been a straight-A student, tidak pernah ada nilai B yang diperoleh gadis itu-bahkan hingga ia duduk di bangku perkuliahan seperti saat ini. Libby hanya tidak memahami standar seperti apa yang ditetapkan orang tuanya agar gadis itu bisa mendapat pengakuan di hadapan keluarga besarnya seperti yang selalu mereka lakukan pada Raline. Ah, ralat. Libby tidak terlalu membutuhkan validasi, ia hanya mengharapkan agar kedua pasangan suami-istri yang telah membesarkannya itu dapat berhenti membuatnya terlihat seperti anak terburuk di dunia.

A Sip of Her Pink DrinkWhere stories live. Discover now