8. Lost The Sun

1.7K 201 27
                                    

Kejam.

No, wait, she even needed a stronger word than that. Dikarenakan, sepertinya, kata tersebut belum cukup sempurna untuk mewakilkan seberapa teganya Dewa yang pagi ini sudah berangkat ke kantor tanpa menyempatkan diri untuk berpamitan terlebih dahulu.

Bukan. Sebenarnya, bukan itu masalahnya.

Poin utama yang menyulut kekesalan Libby ada pada bagian di mana suaminya itu mengangkat kaki dari apartemen tanpa menyediakan sarapan untuknya mengisi perut. Jika boleh jujur, ini bukanlah kali pertama Dewa melakukan hal tersebut dan-ya, sesungguhnya, ia juga tak terlalu mempermasalahkan, mereka memang memiliki jadwal yang padat di saat-saat tertentu. Namun tetap saja, sesudah puas mengomelinya tadi malam, lelaki tersebut tidak seharusnya malah menunjukkan sikap apatis.

Bibirnya maju beberapa senti sewaktu mendapati bahwa Dewa bahkan tak mengiriminya pesan. Semestinya, lelaki itu 'kan bisa mengingatkan Libby untuk tidak melewatkan makan pagi melalui chat jika memang tidak sempat berpamitan. Akhirnya, tanpa energi, ia memutuskan untuk menelepon Jo. Perlu menunggu cukup lama hingga akhirnya suara khas bangun tidur menyapa pendengaran gadis itu.

"Morning, apa Kak Jo mau temani Libby sarapan di apartemen?" tanyanya penuh harap yang tanpa berpikir dua kali langsung disetujui oleh si lawan bicara.

Berbincang sebentar, Libby akhirnya memutus sambungan. Jo berpesan bahwa ia hanya perlu duduk manis, menunggu laki-laki itu datang membawa sarapan mereka. Akan tetapi, wajahnya kembali tertekuk tatkala teringat akan Dewa.

Bagaimana ini, Libby benar-benar menginginkan sereal dan cokelat panas buatan suaminya yang menyebalkan itu.

Terlalu sibuk dengan berbagai pikiran yang berkerubung mengelilingi otaknya bak asap hitam yang menghadirkan jalan sesat tanpa arah, Libby sampai tidak menyadari bahwa ponselnya sudah ribut sedari tadi oleh pesan Jo yang membombardir. Gadis itu baru kembali pada kesadarannya sewaktu bel berteriak nyaring, menandakan lelaki yang beberapa menit lalu berkomunikasi dengannya melalui telepon telah menunggu.

Diliputi pertanyaan besar, Libby bergerak pelan menuju pintu. Kemudian, membukanya perlahan hingga menampilkan figur tinggi Jo, berdiri dengan tangan yang sibuk menenteng sebuah kotak makan berwarna merah muda. "Kak Jo.. terbang? Kok, cepat banget?"

Ia benar-benar kehilangan kata.

"Lagi jalan deket sini," balas Jo acuh tak acuh, mengibaskan tangan sembari melenggang masuk, tak menghiraukan Libby yang tampak shock.

Tidak mungkin. Ini benar-benar tidak masuk akal. Masalahnya, apartemen laki-laki itu berada di daerah Tebet. Dengan demikian, sungguh irasional jika jarak yang dibutuhkan Jo untuk sampai ke kediaman gadis itu hanya memakan waktu kurang dari lima belas menit. Kecuali, jika mereka tinggal di satu bangunan yang sama.

"Kak Jo pindah ke sini?" Mata Libby menyipit penuh selidik.

Menguap sekali, Jo kemudian membalas santai, "Iya, tapi nanti kalau gue udah jadi eksekutif di Polie Group."

Hal tersebut kontan mengundang Libby untuk menghela napas lelah. Polie Group adalah salah satu perusahaan terbesar dan tertua di Tanah Air yang didirikan oleh salah seorang imigran asal Negeri Tirai Bambu. Memiliki berbagai anak perusahaan di bermacam ragam bidang, posisinya di dunia bisnis dipastikan memiliki pengaruh besar dan kuat. Selain bergerak pada sektor properti, keuangan, telekomunikasi, ritel, edukasi, dan restoran, Polie Group baru-baru ini juga diduga akan melebarkan sayapnya hingga ke industri otomotif.

Berdasar segala fakta di atas, jelas saja balasan Jo tadi menyebabkan Libby menggeleng tak habis pikir. Ia menepuk pundak laki-laki tersebut penuh perhatian. "CV* Kak Jo saja bahkan seperti enggak pernah diutak-atik lagi semenjak lulus kuliah."

A Sip of Her Pink DrinkWhere stories live. Discover now