PROLOG

16 3 1
                                    

Di tepi brankar yang ditempati oleh Aluna, dua orang duduk dengan nyaman. Mereka sesekali mengajak Aluna berbicara , tetapi Aluna terlihat terpaku pada jarak yang jauh. Matanya yang biasa penuh dengan kehangatan dan keceriaan kini tampak kosong. Aluna seperti menatap ke kekosongan yang tak terlihat. Seakan ada jarak yang sulit Aluna hampiri. Meskipun ada dua sosok di sebelahnya, kehadiran mereka tak mampu mengembalikan fokusnya. Aluna merasa dunianya masih terlalu kabur.  

"Kalian siapa?" Setelah keterdiamannya beberapa saat, Aluna rasa dirinya harus mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Lewat dua pemuda ini memungkinkan Aluna menemui titik terang. 

Dua pemuda itu mengalihkan atensinya pada Aluna yang terlihat kebingungan. Salah satu diantaranya sedikit mencondongkan diri. 

"Aksa, Na. Kepala mu masih sakit kah?" Aksa melontarkan tanya. Aluna menduga dia adalah temannya. Seingatnya teman termuda yang Aluna punya hanya berbeda satu tahun saja dari dirinya.

"Devano dimana?" 

"Devano?" Gumam Aksa. Lalu dia kembali menatap Aluna dengan kebingungannya. "Begini. Aku Aksa dan ini Sagara." Aksa menarik tangan Sagara. Aluna menoleh ke sisi kanannya. Ternyata pemuda yang sedari tadi memasang wajah datar itu bernama Sagara. "Kau ingat kalo kita sekelas, Na?" Aksa memastikan lagi. Jawaban yang diinginkan Aksa tidak dia dapatkan. Aluna menggeleng lemah. Apa yang ada diingatannya sangat berbeda jauh dengan yang diucapkan oleh Aksa. 

"Shena?" Aksa melirik Sagara yang memanggil dengan nada rendah pada gadis yang sedang duduk dengan raut tak terbaca. 

"Shen?" Lagi, Sagara mengulanginya. Tetapi gadis itu tidak merespon. Aksa merasa ada yang tidak beres pada Aluna. Sesaat hendak beranjak untuk memanggil dokter, Aluna menghentikannya. 

"Jadi nama ku Shena?" Aksa mengulurkan niat. Dia kembali duduk dan menatap Aluna khawatir. 

"Iya Shena. Sekarang kepala mu masih sakit?"

Aluna menggeleng. Tidak, maksudnya dia bukan Aluna?

"Aku Aluna Aksa. Siapa Shena?" Baiklah, baik Aksa maupun Sagara keduanya dibuat bingung. 

Keterdiaman mereka membuat Aluna kembali membuka suara. "Aluna. Aku Aluna terakhir yang ku ingat kalau ada bus yang nabrak resto tempat kami makan." Aluna menekankan ucapannya penuh keyakinan. Dia berkedip dua kali seakan satu persatu memorie dikepalanya masuk menerbos bak air yang mengalir deras. "Mama Papa mereka tinggal---" Aluna terhenti, menggigit bibirnya dalam kebingungan. Rasa-rasanya ada sesuatu yang tidak cocok, seperti potongan-potongan kenangan yang belum dapat Aluna ingat dengan detail. 

Aksa dan Sagara saling tatap mencoba mengerti keadaan yang membingungkan ini. Namun Aluna masih tetap pada pandangannya yang meragukan dirinya sendiri. 

"Ini gak bener." Aluna harus menemukan benang merah yang mengganjal pikirannya. Dia melepaskan selang impus ditangannya dan mencoba untuk melangkah keluar namun Aksa menahan langkahnya. 

"Aksa lepas!" Aluna bisa gila jika harus menerka semuanya dengan berbagai pertanyaan yang bersliweran dikepalanya tanpa ada yang bisa memuaskan tanyanya itu. 

"Shen kamu belum sembuh." Aksa mencoba menahan walau Aluna membrontak. Tenaga Aluna tidak sebanding dengan Aksa. Gadis itu akhirnya terduduk dilantai dengan raut wajah yang sangat tertekan. 

"Aku bukan Shena! Astaga harus berapa kali ku katakan!" Aluna berseru kesal. Sampai-sampai matanya memanas. 

Sagara mendekati gadis itu. Dia menunduk, memperhatikan wajah pucat didepannya. Saat keduanya saling tatap, manik mata berobsidian itu memancarkan keputusasaan. "Sagara  aku Aluna bukan Shena." Suaranya melirih. Aluna memegang tangan Sagara seolah meminta pertolongan untuk terbebas dari raga ini. 

"Apa yang terjadi pada Shena?" Sagara mengikuti alur bicara gadis itu. 

"Aku tidak tau... aku... ah Shena dilarikan kerumah sakit setelah ditemukan kejang dan...." Ucap Aluna. Dia mencoba menghubungkan ingatannya dengan ingatan Shena yang masuk dikepalanya. Tetapi semakin Aluna berusaha mengingatnya, semakin jauh potongan-potongan kenangan itu bergeser darinya. 

Rentetan kehidupan Shena terasa seperti musik yang rusak, dengan potongan-potongan yang tak terhubung, terputus-putus dalam ingatan Aluna. Keterkaitan antara dirinya dan Shena semakin membingungkan. Aluna memegangi kepalanya yang sakit. Cairan bening membasahi kelopak matanya. Ingatan Aluna dan Shena memutar bersamaan disana. Ditengah-tengah kekesalannya yang memuncak, sebilah cahaya terang menyoroti sesuatu. 

Nafas Aluna terengah. Dia mencoba berdiri dengan bantuan tangan Sagara yang masih dia genggam. Kedua manik matanya kembali menatap Sagara. 

"Ini tahun berapa?"

"2013..."

Seakan ada sebuah pukulan keras, dunia Aluna mulai menggabur. Pandangan gelap seolah siap memeluknya. Hal terakhir yang bisa ia tangkap dengan jelas adalah teriakan Aksa dan kesigapan Sagara yang menahan tubuhnya. Setelah itu semuanya kembali kosong. 

Aluna tidak berada di tahun 2023 melainkan dirinya terlempar jauh ke sepuluh tahun sebelumnya dan berada pada raga kosong yang tidak dia tau siapa. 

IF WE MEET AGAINWhere stories live. Discover now