Bab 32 - Si Pengecualian

127 10 1
                                    

 "It's my game and I know I'll win." Kiara Anastasia

.

.

.

Kiara sibuk mengamati seluruh bangunan cagar budaya hingga tidak menyadari dia berada cukup jauh dari kelima temannya yang lain. Pikirannya sibuk berputar bagai roda gigi lurus yang menggerakkan jam dinding.

Ada banyak pertanyaan tanpa jawaban pasti yang terlintas dalam kepalanya. Apa alasan orang itu mengintai mereka yang jelas-jelas bukan penduduk asli dan tidak ada hubungan apapun dengan desa ini? Ataukah dia hanya mengincar salah satu dari mereka? Jika hanya salah satu dari mereka, siapa? Oliv. Hanya Oliv yang selalu ada tiap kali orang itu muncul. Tapi, mengapa Oliv? Lalu, apa hubungan penguntit itu dengan cagar budaya ini?

Sejak awal, dia sudah setuju dengan kecurigaan teman-temannya. Untuk anggaran 2M jelas sekali ada yang tidak beres dari cagar budaya itu, tapi tidak ada bukti apapun yang bisa mendukung kejanggalan itu.

"Jangan pergi terlalu jauh."

Kiara yang tersesat di dalam pikirannya sendiri sedikit terkejut mendengar suara Adam yang terdengar dari balik bahunya. Dia kemudian mengangguk sebagai balasan.

"Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Adam, ikut melihat bangunan yang terbengkalai itu sambil berdiri selangkah mendekat ke arah Kiara.

"Banyak," Kiara menjawab seadanya. Dia tidak berniat untuk melanjutkan perkataannya, tapi dia sadar pria yang ada di sampingnya menunggunya untuk berbicara.

"Aku sedang memikirkan penguntit itu, juga anggaran tempat ini,"ucap Kiara, sedikit ingin menyenangkan pria itu. "Yang kita punya hanyalah asumsi belaka ke mana anggaran ini mengalir. Hanya itu, tidak lebih. Kita tidak punya bukti konkret apa pun untuk membuktikan asumsi kita."

"Apa ada sesuatu yang kita lewatkan?" gumam Kiara lebih kepada diri sendiri.

Rangkaian pertanyaan tanpa ujung itu terhenti ketika setetes air tiba-tiba mengenai puncak kepalanya. Kiara menengadah. Rintik-rintik hujan terdengar berjatuhan di atas seng. Beberapa dari mereka bahkan masuk ke dalam bangunan melalui lubang-lubang seng yang berkarat.

"Guys, kita harus balik sekarang. Kita udah dicariin Bapak." Leo setengah berteriak, suaranya memenuhi ruangan.

"Bapak udah pulang? Kenapa cepat sekali?" tanya Adam, secara tidak langsung mewakili Kiara yang juga menanyakan hal yang sama.

Leo mengangkat bahunya. "Gak tahu. Tapi dari suaranya, dia gak senang kita gak ada di rumah."

"Ada yang bawa jas hujan, gak?" Kali ini Leo bertanya. Mereka semua menggeleng. "Kalo gak ada, kita tunggu hujan reda aja baru pulang."

Leo langsung menggeleng. "Gak bisa. Nanti Bapak tambah marah kalo kita pulangnya kemalaman. Kita terobos aja hujannya."

Semuanya mengikuti arahan Leo dengan patuh dan setengah berlari menghindari rintik-rintik hujan yang mengenai kepala ke arah parkiran. Kiara mengedarkan pandangannya pada sekitar bangunan terbengkalai itu sekali lagi untuk memastikan hanya ada mereka di sana.

Tiba-tiba, tanpa diminta Adam memasangkan helm di kepala Kiara.

"Jangan terlalu banyak berpikir," katanya sambil menepuk dua kali puncak helm yang Kiara kenakan. Lalu berbalik menyalakan motornya.

Kiara tertegun sesaat. Sedikit terkejut dengan apa yang barusan pria itu lakukan padanya. Dia biasanya tidak suka jika orang lain terlalu dekat dengannya sampai-sampai punya hak untuk memberitahunya apa yang harus atau tidak dia lakukan.

Namun, Adam termasuk dalam pengecualian.

Pria itu tidak pernah membuat Kiara merasa terancam, justru sebaliknya dia membuat Kiara merasa aman hanya dengan berada di dekatnya.

Karena itu, Kiara tidak keberatan jika laki-laki itu tau tentang dirinya. Tidak, mungkin lebih tepatnya, Kiara ingin agar Adam bisa mengerti dirinya dan apa pun yang terjadi ke depannya dia bisa berada di pihak Kiara.

Tetapi, tetap saja sarannya sama sekali tidak berguna untuk Kiara. Menyuruhnya untuk tidak banyak berpikir sama saja seperti menyuruhnya untuk berhenti makan. Mustahil.

"Ngomong-ngomong, apa Zara masih sering menghubungimu?" Kiara bertanya di tengah perjalanan.

"Untungnya, tidak," jawab Adam. "Aku bahkan baru sadar kalau dia udah jarang menghubungiku lagi gara-gara sibuk ngajar."

Kiara terdiam. Tujuan mereka akhirnya hampir tercapai, tapi kenapa dia merasa tidak senang?

"Tapi, aku dengar dari Oliv kalau kemarin dia sempat nanyain lagi hubungan kita," lanjut Adam.

Rasa tidak senang itu kini hilang bagaikan jejak kaki yang tersapu ombak pantai.

"Benarkah?"

"Iya," Adam mengangguk, "Oliv nanyain lagi hubungan kita ini apa, tapi aku belum bisa jawab."

Setelah terdiam beberapa saat, Adam lalu berkata lagi, "bagaimana kalau kita beritahu saja?"

"Beritahu apa?"

"Kalau kita pacaran. Untuk meyakinkan Oliv dan Zara." Adam langsung menjawab. "Apa kamu tidak keberatan?"

Kiara menyembunyikan senyumnya. Untung saja Adam tidak sedang melihat wajahnya konyolnya sekarang. "Gak. Aku gak keberatan. Kamu bisa kasih tahu Oliv dan teman yang lain kalau kita pacaran."

"Oke," ujar Adam.

Mereka tidak lagi mengatakan apa-apa. Kiara ingin tahu ekspresi seperti apa yang ada di wajahnya. Namun, tidak butuh waktu lama sampai Kiara sadar dia tidak ahli dalam membaca emosi. Dia bukan Adam, sang aktor, yang sangat peka dengan kelebatan-kelebatan sekecil apapun di wajah-wajah manusia.

Dia bahkan tidak bisa memahami perasaannya sendiri. Bagaimana mungkin dia bisa tahu perasaan orang lain?

Kiara menghela napas tanpa sadar. Parfum beraroma musky woody dari Adam samar-samar masuk ke hidungnya bercampur dengan angin malam dan rintik hujan yang membawa dingin.

Di kedua sisi mereka, hanya ada hamparan sawah. Bulan penuh menggantung di langit hitam tanpa bintang. Lampu-lampu jalan bersinar redup. Bunyi-bunyi hewan malam terdengar dari kejauhan. Meski tubuhnya setengah menggigil, Kiara menyukai suasana tenang dan misterius yang ada di sekelilingnya.

Dia berharap dia bisa menangkap momen ini dan memasukkan ke dalam sebuah toples kaca agar dia bisa memandanginya dan masuk kembali ke dalamnya tiap kali dia merindukan momen ini.

Sesampai di rumah kepala desa hanya bertanya dari mana saja mereka ketika mereka pulang dalam keadaan basah kuyup dan Leo menjawabnya kalau mereka pergi kota untuk membeli perlengkapan proker Kiara, lalu singgah sebentar di Pantai Biru. Sama sekali tidak menyebutkan tentang cagar budaya.

Hujan di luar masih belum berhenti. Dia justru datang bersama angin kencang yang seolah siap merobohkan batang-batang pohon dan rumah-rumah warga yang hanya beratapkan seng besi.

Para mahasiswa KKN itu terlihat kelelahan setelah seharian berada di luar rumah. Namun, tidak ada dari mereka yang berniat masuk ke kamar dan beristirahat. Mereka semua berkumpul di depan kamar dan duduk melingkar. Kebanyakan dari mereka sibuk dengan ponsel di tangan, alih-alih saling bicara.

Leo yang sejak tadi hanya bersiul dan bersenandung tidak jelas, bertanya dengan suara lemah, "kalian kok tahan sih gak ngomong apa-apa?"

"Anak-anak pada capek mampus," balas Adam, mengangkat wajahnya dari ponsel.

Leo mengerutkan bibirnya. Dia lantas berdiri, masuk ke kamarnya dan keluar lagi dengan kartu UNO di tangannya. "Main game, yuk. Aku bosan kalau gak ngapa-ngapain."

Mereka semua mendekat ke meja dan Leo mulai membagikan kartu.

Tiba-tiba, Kiara mendapatkan sebuah ide setelah kilasan tentang percakapannya dengan Adam di motor tadi muncul dalam benaknya. Ini waktu yang tepat untuk memberitahu teman-temannya yang lain tentang perkembangan hubungan mereka.

Kiara melirik Adam sekilas, lalu membuka mulutnya. "Kalau cuman main doang gak seru. Gimana kalo yang kalah dapat hukuman?"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 02 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

METANOIA [REWRITE]Where stories live. Discover now