BAB 18 - Satu hari bersama Vian

278 46 7
                                    

"I have to be seen to be believed."– Amanda Carissa Mandan

.

Amanda selalu menganggap Oliv dan Kiara sebagai sosok yang bersinar terang yang hanya bisa dia lihat dari kejauhan. Sementara dirinya tidak lebih dari bagian yang bisa dengan mudah untuk disingkirkan. Sulit baginya untuk bisa di antara mereka. Jadi di banyak waktu, Amanda hanya berperan sebagai pendengar pasif.

Lalu, semakin waktu berlalu, Amanda merasa semakin serakah. Dia ingin agar kedua perempuan itu bisa melihatnya, mengakui keberadaannya.

Namun, tekanan yang dia berikan pada dirinya sendiri bagaikan senjata makan tuan yang kini melukai dirinya.

Bukannya mendapatkan apa yang dia inginkan, dia malah menjadi beban untuk teman-temannya, terutama kepada Vian. Tiap kali bersamanya, Amanda tidak bisa tidak merasakan perasaan dilindungi layaknya seorang saudara laki-laki seperti yang biasa dia dapatkan dari ketiga kakaknya.

Karena itu, dia selalu kelepasan untuk menceritakan kegelisahan dan segala isi kepala yang mengacaukan pikirannya.

Seperti sekarang ini. Dengan bodohnya dia malah menangis di depan pria itu dan membiarkan pria itu menenangkannya.

"Apa yang kamu lakukan di sana?"

Teguran itu menyadarkan Amanda. Dia melihat sekelilingnya. Entah sudah berapa kali dia ke pasar sejak KKN ini, tapi Amanda masih belum terbiasa dengan tempat itu. Terlalu ramai dan orang-orang bergerak cepat seakan waktu mengejar mereka.

Tiba-tiba, Amanda merasakan seseorang menarik tangannya. Ketika menengadah, dia melihat Vian yang tersenyum tipis padanya.

"Jangan sampai hilang lagi," katanya.

Jika saja dia tidak berada di situasi yang tidak mengharuskannya untuk bergerak cepat, Amanda bisa membayangkan wajahnya memerah malu karena mengingat kembali kejadian di mana dia pertama kali pergi ke pasar dan malah tersesat.

Amanda mengikuti Vian dari belakang. Berbanding terbalik dengan Amanda yang canggung dan tidak tahu harus melakukan apa, Vian justru tampak luwes dan nyaman dengan sekitarnya. Pria itu tahu kapan harus berbasa-basi, menawar harga, dan menilai kualitas barang yang dia ingin beli.

Setelah setengah jam lebih memutari pasar, Amanda mentraktir Vian minuman soda yang dia beli di warung terdekat dan duduk di kursi panjang yang ada di depan warung itu.

Amanda menyelonjorkan kakinya. Dia merasa sedikit lebih baik. Udara masuk ke dalam paru-parunya dengan bebas.

Amanda tiba-tiba ingin menanyakan sesuatu yang sempat membuatnya penasaran. "Kamu emang selalu pergi ke pasar, yah? Kok tau banget yang mana sayur yang bagus yang mana gak."

"Soalnya ibuku punya warung makan dan aku hampir setiap hari temani ibuku ke pasar belanja waktu masih di kampung dulu.

Amanda menegakkan punggungnya. Dia menatap Vian dengan penuh minat. "Pantas aja kamu jago banget nawar harga."

Vian terkekeh. "Begitu, lah."

Dari situlah Amanda sadar bahwa dunianya dan dunia Vian sangat berbeda bagaikan dua sisi yang saling berlawanan.

"Kamu pernah coba makan belut, gak?"

Amanda menggeleng. "Lihat aja belum pernah."

"Wah, aku dulu malah selalu ke sawah buat nangkap belut, kadang sampai digigit lintah dan karena kami perginya itu malam-malam, bukannya nangkap belut, malah nangkap ular. Temanku bahkan sampai kena gigit."

Amanda mendengar Vian menceritakan tentang masa lalunya. Ini pertama kali dia melihat pria itu berbicara banyak dengan mata berbinar. Meski, apa yang pria itu ceritakan terasa tidak nyata dan jauh, nyaris seperti acara petualangan yang biasa dia lihat di televisi.

METANOIA [REWRITE]Where stories live. Discover now