BAB 12 - Vian dan Laut

327 51 10
                                    

"There are wounds that never show on the body that are deeper and more hurtful than anything that bleeds."– Elvian Qaid Arkana
.

Tubuh Vian semakin lama semakin tertarik masuk ke dalam lautan. Setiap kali dia membuka mulutnya berharap paru-parunya terisi udara, setiap kali pula dia sadar harapan itu hanya membawanya pada keputusasaan. Kepalanya menengadah. Cahaya bulan purnama yang menembus permukaan air tampak begitu jauh dan menggelap, meski dia sudah berupaya untuk menggapainya.

Tiba-tiba, dia bisa merasakan sesuatu menggenggam pergelangan kakinya.

Vian menunduk. Di sana sesuatu yang menakutkan dari kematian menatapnya nyalang.

Kedua tangan Vian lantas dia rentangkan untuk membawa tubuhnya naik ke permukaan.

Namun, sosok itu menarik Vian sambil merayapi tubuhnya hingga kepala mereka berada di posisi yang sama. Sosok itu memandang tepat di iris mata Vian dan memanggil namanya dalam kesakitan.

Vian merasa jantungnya berdegup semakin cepat dan matanya terpejam rapat, berharap sosok itu menghilang dari pandangannya.

Lalu, senyap.

Vian terbangun dengan guncangan lembut di bahunya. Di depannya ada Adam dan Leo yang menatapnya khawatir. Dia memandangi sekitarnya. Tubuhnya sedang duduk di sofa ruang tamu rumah yang menjadi tempat tinggalnya sampai bulan depan, rumah kepala desa Sakra.

Dia tidak tenggelam. Tidak ada cahaya bulan purnama yang samar-samar. Tidak ada sosok itu lagi.

Vian menghembuskan napas lega yang panjang. Kedua wajahnya menutupi wajahnya. Dia baru menyadari kalau dia berkeringat.

Dia kemudian mendengar Adam bertanya, "kamu mimpi buruk?"

"Kamu tadi ngigau gak jelas dan kelihatan kayak orang takut," tambah Leo.

Vian menatap kedua temannya, lalu tersenyum tipis menenangkan mereka. "Sekarang udah jam berapa?"

Leo melirik jam tangannya. "Udah hampir jam empat. Oh, iya, pas kamu tidur tadi, anak-anak buat rencana buat keluar."

"Kemana?"

"Ke pantai. Pada mau lihat laut."

---

Suara deburan ombak yang mengenai pasir putih terdengar dari kejauhan menyihir enam mahasiswa yang sedang duduk di gazebo untuk terus menatap birunya laut dengan sedikit warna keemasan dari matahari yang hampir terbenam.

"Wah, cantik banget," ujar Oliv tanpa mengalihkan pandangannya dari pantai.

"Bener banget," timpal Adam yang berada di sampingnya.

Leo tiba-tiba turun dari gazebo dan berkata, "kalian kalo ke pantai jangan diam-diam doang ke gini. Ayo main air."

Namun, karena tidak ada dari temannya yang bergerak dari duduk mereka, dia pun menarik tangan Oliv dan membawanya lari ke pinggir pantai.

Vian menyemburkan tawanya ketika Oliv berhasil melepaskan tangannya dan mencelupkan kepala Leo ke air. Dia bahkan bisa mendengar gerutuan Oliv yang seperti motor tanpa rem.

Tidak lama, Adam dan Kiara juga ikut turun dari gazebo menyusul Leo dan Oliv.

Vian mengeluarkan kameranya dari tas dan memotret mereka dari jauh.

Tidak lama, Amanda datang dengan dua kantong putih plastik besar. Vian segera bangkit dari tempatnya dan menghampiri Amanda, berniat mengambil dua kantong itu dari tangannya.

"Eh, gak papa. Aku bisa bawa sendiri, kok."

Namun, Vian lebih dulu bertindak.

"Thank you," gumam Amanda.

METANOIA [REWRITE]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum