Bab 27 - Save The Prince

107 11 3
                                    

"I may not be able to empathize with you, but that doesn't mean I never care. " - Kiara Anastasia

.

.

Suara tawa dan seruan anak-anak memenuhi ruangan kelas.

Kiara duduk di bangku guru mengamati Adam yang bermain permainan follow the leader sambil mengerjap-ngerjapkan matanya menahan kantuk. Semua orang anak-anak tampak bersemangat dan ceria.

Belajar sambil bermain seperti ini adalah ide Adam. Mereka merencanakannya semalam. Entah ide itu akan berhasil atau tidak, Kiara tidak yakin. Satu hal yang pasti menurutnya adalah betapa tidak efektifnya metode pembelajaran seperti itu untuk dilakukan di kelas enam.

Bagi Adam, tujuan utama mereka bukan lagi mengajari mereka pelajaran bahasa Inggris yang sudah tertinggal jauh, tapi untuk membantu Yayan diterima oleh teman-teman kelasnya. Itulah yang paling penting, kata Adam semalam.

Kiara menopangkan dagunya. Pandangannya tertuju pada Yayan, tokoh baru yang ingin Adam selamatkan di ceritanya. Anak laki-laki bertubuh kecil dan kurus itu berdiri sedikit menjauh dari teman-temannya.

Sejujurnya, dia sama sekali tidak tertarik bergabung dengan sekumpulan manusia-manusia kerdil di depannya. Namun, tiba-tiba dua anak perempuan mendekat dan mengusik ketenangannya.

"Kak Rara, Kak Rara," panggil salah satu dari mereka. "Aku boleh kepang rambut Kak Rara, gak?"

Kiara ingin menolak, tapi melihat mata bulat yang berbinar dari anak itu sedikit membuat Kiara luluh. Dia pun menampilkan jenis senyum yang biasa dia latih di depan cermin dan berkata, "boleh."

Kedua anak itu berseru kegirangan. Kiara mendekat pada mereka dan duduk di lantai supaya kedua anak itu bisa mengepang rambutnya. Dia bisa merasakan tangan-tangan kecil kedua anak itu mulai merayapi kepalanya. Sesekali kepalanya tertarik karena rambutnya ditarik terlalu kencang oleh salah satu dari dua anak itu.

Pandangannya lantas tertuju pada Adam yang masih sibuk dengan 13 anak lainnya. Detik selanjutnya mata mereka bertemu. Ada senyum geli di wajah pria itu ketika melihat Kiara yang entah bagaimana bentukannya sekarang.

Bel tanda istirahat kemudian berbunyi. Anak-anak mulai berhamburan dari tempatnya dan berlarian keluar dari kelas. Dua anak perempuan yang telah selesai mengepang Kiara juga demikian.

Adam mendekat pada Kiara yang duduk di lantai. Dia menjulurkan tangannya dan membantu gadis itu berdiri.

"Bagaimana rambutku?" tanya Kiara tanpa benar-benar ingin tahu jawaban Adam.

"Lucu," ujar Adam. Senyum geli masih bergantung di wajahnya.

Tidak percaya dengan jawaban itu, Kiara mengambil ponselnya di meja untuk melihat penampilannya sendiri. Ternyata kedua anak itu mengepang dua rambutnya dengan asimetris .

Tanpa sadar, senyum geli juga muncul di wajah Kiara melihat hasil karya kedua anak itu. Tapi, tidak butuh waktu lama sampai Kiara merapikan rambutnya kembali seperti awal.

"Bagaimana? Apa menurutmu metode belajar sambil bermain seperti tadi efektif?" tanya Kiara sambil kembali duduk di bangku guru.

Adam duduk di meja yang paling dekat dengan Kiara. Wajahnya murung. "Gak seperti yang aku bayangkan."

"Sudah kuduga," ujar Kiara sambil menopangkan dagunya. "Anak-anak masih sulit untuk menerima keberadaan Yayan dan Yayan masih sering berdiri di pojokan sekedar memandang teman-temannya."

"Bagaimana kalau kita coba mengajar setiap hari?" tanya Adam. Punggungnya tegak, bersemangat dengan idenya sendiri.

Mereka memang hanya mengajar tiga hari seminggu, Senin, Rabu, dan Jumat.

METANOIA [REWRITE]Where stories live. Discover now