"Put, kalau waktunya udah deket, kamu bilang-bilang dulu ya ke aku? Jangan langsung pergi." Ada satu bulir air mata yang turun di pipi Dinda. Tapi dia segera menghapus air mata itu beserta jejak-jejaknya. Dia tak mau Putera sampai tahu dan semakin membebani lelaki itu. Putera pun sama! Dia menengadahkan kepalanya ke atas, mencegah cairan bening keluar dari matanya saat Dinda meminta sesuatu yang sangat sulit baginya itu.

"Dinda, kamu tahu kan kalau perasaan aku sama kamu gak mungkin bisa hilang?"

Dinda tersenyum dan mengangguk.

"Kamu tahu kan, dengan siapapun aku atau kamu menikah nanti, aku akan selamanya sayang sama kamu."

"Jangan ngomong gitu Put, itu akan sangat tidak adil buat pasangan kita nanti."

"Sssstttt... Aku gak suka denger kata itu dari kamu. Karena sejujurnya, Satu-satunya wanita yang aku inginnkan untuk jadi istri aku adalah kamu Din!"

"Iya Put, aku juga punya perasaan yang sama kok. Satu-satunya orang yang aku harapkan mendampingi aku sampai tua ya cuma kamu. Kalau gak ada kamu aku gak tau gimana cara jalanin hari-hari aku. Gimana ya? Bakal aneh banget pasti ya?" Nada bicara Dinda sungguh santai tapi genangan air mata di pelupuk matanya sudah hampir tumpah. "Bangun tidur terus gak ngabarin kamu tuh pasti aneh rasanya. Mau tidur terus gak ngecek dulu kamu dimana, udah pulang atau belum, juga akan aneh rasanya." Suara Dinda terdengar bergetar.

"Sayang.." Putera mencoba mengusap lembut lengan Dinda untuk menenangkannya. "Kita jangan bahas ini dulu yuk."

"Gapapa Put, biar kita berdua makin akrab sama perpisahan. Biar kita sama-sama gak kaget nantinya." Dinda masih bisa tersenyum walau Putera tahu pasti gadis dipangkuannya ini sedang menahan tangis.

"Maafin aku Din.. Maaf.." Putera terlihat sangat menyesal.

"Loh kenapa minta maaf? Kita memulai hubungan ini berdua Put. Dari awal kita sama-sama tahu kalau hubungan kita itu akhirnya bukan pernikahan."

"Tapi aku sebagai laki-laki harusnya gak membawa kamu ke dalam takdir aku yang seperti ini, Din! Harusnya dari awal aku dengerin apa kata Gisel dan Arga."

"Aku juga mengabaikan hal yang sama Putera. Dalam hubungan ini kita berdua, kita ambil semua keputusan berdua. Jadi jangan salahin diri kamu sendiri! Aku juga ada salahnya."

"Aku justru makasih karena kamu sudah membagi takdir kamu sama aku Put." Dinda menangkup kedua pipi Putra sambil menatap mata lelaki itu dengan lembut. "Walau akhirnya nanti kita gak bersama, gak apa-apa." Senyuman Dinda semakin membuat Putera sesak. Tapi dia tak mau menangis di depan Dinda. Bukan karena gengsi, tapi dia ingin tampil kuat di depan wanita yang sekarang sedang berpura-pura tegar di depannya ini. Dia harus kuat, agar Dinda bisa bersandar, menangis di pundaknya.

"Kamu harus inget kalau kebersamaan kita lima tahun ini harus disyukuri bukan disesali. Ok?"

Putera hanya mengangguk tanda setuju. Kemudian mereka berpelukan dengan sangat erat, seolah-olah mereka tidak ingin berpisah.

"Jadi bener ya Put? Waktu itu semakin dekat kan?" Sekali lagi Dinda mencoba bertanya.

Belum ada jawaban apa-apa dari Putera, dia malah semakin mempererat pelukannya.

"Sayang, please jawab pertanyaan aku. Kamu harus percaya kalau aku gapapa Put! Aku memang gak akan pernah siap kehilangan kamu, tapi akan lebih baik kalau kamu kasih aku kisi-kisi dari sekarang. Biar aku bisa bersiap-siap."

Dinda melepaskan pelukannya, kini dia menatap dalam-dalam mata sang kekasih. "Jawab sayang, waktu kita semakin dekat ya?"

Mata Putera terlihat memerah menahan air mata yang akan tumpah dari dua bola matanya yang jernih.

AURORAWhere stories live. Discover now