Bab 14: Jalan pikiran Rasya

Start from the beginning
                                    

Zarosa lantas mengangkat dua jarinya di samping wajah. "Sama sekali nggak ada! Lihat, gue risih sama semua tatapan menghujam itu, Vina!" jawabnya menunjuk ke orang-orang yang sejak tadi memperhatikannya dengan sinis.

Vina mengikuti arah yang Zarosa tunjuk, lalu tersenyum kecil.

"Mereka iri tau sama lo!"

Zarosa berdecak sebal. "Bego! Mereka nggak tau aja gimana sikap laki-laki itu sebenarnya!"

***

Selama pelajaran, Zarosa terlihat begitu tenang, tetapi tidak dengan pikirannya. Dia penasaran dengan alasan Rasya terus menargetkan dirinya.

Terbesit di kepala gadis itu untuk pindah saja. Namun, kasihan pada sang bunda yang pasti harus kesulitan mengurus kepindahannya, apalagi ini baru hari pertama. Ibunya pasti akan bertanya masalah apa yang telah dia perbuat di sekolah.

Sibuk dengan pikirannya sendiri, Zarosa sampai tidak mendengar panggilan Bu Fitri—guru yang sedang mengajar di kelasnya—hingga Jingga menyenggol lengan atas Zarosa membuat gadis itu tersebut.

Zarosa menoleh ke arah Jingga, tetapi Jingga malah menunjuk ke depan.

"Apa?" tanya Zarosa.

"Lo dipanggil Bu Fitri, Zar!" bisik Jingga.

"Zarosa!" panggil Bu Fitri dengan nada tinggi mengejutkannya.

Zarosa repleks menghadap ke depan. Menemukan guru Biologi itu menatap horor kepadanya.

Dia menyengir. "I-iya, Bu?" tanyanya tergugup.

"Oh, jadi kamu nggak perhatiin pelajaran saya?"

"De-dengerin, kok, Bu!" sahutnya cepat.

Bu Fitri tersenyum miring. "Maka jawab pertanyaan saya tadi!"

"Sa-saya lupa. Me-memangnya tadi Ibu tanya apa?"

Guru perempuan berhijab biru itu terlihat menahan diri untuk tidak marah-marah. Zarosa menolah pada Jingga. Namun, teman sebangkunya itu bahkan tidak berani bersuara.

"Zarosa, akan lebih baik kamu ke lapangan dan lari dua putaran!" perintah Bu Fitri setelah beberapa detik diam.

Zarosa melotot. "Ya, kok gitu, Bu? Ibu bisa ulang pertanyaannya, pasti saya jawab dengan tepat, kok."

Dia berusaha membujuk, bagaimanapun dia tidak bisa lari di lapangan sekarang. Bukan kebetulan atau takdir memang merencanakan, lapangan utama sekolah sedang digunakan oleh kelas 12 untuk pelajaran olahraga, dan kelas itu adalah kelas 12-2 yang salah satu anggota kelas itu adalah Rasya.

"Saya tidak suka mengulang pertanyaan!" sahut Bu Fitri, "cepat kamu keluar dari kelas saya dan lakukan apa yang saya minta. Setelah itu, baru kamu bisa masuk kelas saya!"

Detik itu juga, Zarosa harus berdiri dari kursinya dan melangkah keluar kelas pelan-pelan dan itu membuat Bu Fitri geram.

"Di percepat, Zarosa! Atau kamu memang sengaja untuk tidak masuk kelas saya lagi hari ini?" bentak Bu Fitri langsung memicu Zarosa untuk mempercepat langkahnya.

***

Di lantai dasar, Zarosa menatap ke arah lapangan dengan perasaan gusar. Dia harus segera menyelesaikan hukumannya, tetapi keberadaan Rasya di sana menimbulkan keraguannya.

Zarosa menghela napasnya berat, memejamkan matanya mencoba menetralkan diri. Setelah beberapa detik, tanpa membuka matanya lebih dulu, dia mengayunkan kaki memasuki lapangan. Segera melakukan hukumannya. Namun, dia tidak sadar jika Rasya sudah memperhatikan sejak dia tiba.

Bugh!

Kening Zarosa menabrak keras dada bidang laki-laki itu. Dia mendongak dan menemukan Rasya sengaja menghalangi jalur larinya.

Napas Zarosa seketika memburu. "Awas!" pintanya berang.

"Ngapain di sini? Di hukum? Lo suka banget, ya, bikin masalah?!" tanya Rasya tanpa menggeser tubuhnya.

"Bukan urusan lo. Minggir!" sahut Zarosa langsung mengambil jalur ke samping kiri Rasya.

Rasya langsung berbalik dan menahan tangannya. "Gue tanya, tuh, ya di jawab!"

Zarosa menatap tangannya yang dicengkeram erat. "Lepasin, nggak?!"

"Jawab dulu pertanyaan gue!" Laki-laki itu semakin mengeratkan cengkeramannya.

Zarosa berbalik, mengubah posisinya menjadi berhadapan lagi dengan Rasya. Jangan tanya keadaan lapangan saat ini, karena semua mata sudah tertuju sepenuhnya ke arah mereka.

"Lo kenapa, sih, kayaknya suka banget ngurusin hidup orang?!" Zarosa memandang Rasya remeh.

"Gue bukan tipe orang yang suka ngurusin hidup orang karena hidup gue sendiri aja gue udah susah ngurusnya," jawab Rasya, "tapi buat lo pengecualian."

Zarosa tersenyum masam. "Lo kayaknya suka sama gue, ya?!"

Rasya mencondongkan wajahnya ke telinga Zarosa dan berbisik di sana. "Kalo iya, kenapa?" Dia segera menjauhkan wajah setelah selesai, lalu melanjutkan ucapannya. "Kalo nggak, juga kenapa?"

"Susah ya ngomong sama lo?!" ucap Zarosa, "jalan pikiran lo itu selalu nggak selaras sama jalan pikiran gue. Jadi, jangan buang-buang waktu gue!"

Dia menghempaskan tangannya hingga terlepas dari Rasya. "Hukuman gue lebih penting dibanding ngeladenin lo yang nggak pernah jelas di mata gue!" tekannya melanjutkan larinya.

"Nanti pulang bareng, ya, sayang!"

Baru beberapa langkah, Zarosa dan semua orang yang memperhatikan mereka dibuat terkejut oleh teriakan Rasya.

Gadis itu sontak menoleh. Diam terdiam melihat Rasya kini tersenyum amat manis kepadanya, bahkan para siswi yang tidak pernah melihat senyuman itu Sontak menjerit tak tertahan.

"Oke? Jangan kabur-kaburan lagi kayak kemarin! Semua orang udah tau hubungan kita jadi nggak perlu kucing-kucingan lagi." Rasya kembali membuat kehebohan dengan kalimat absurd di telinga Zarosa.

Rasya kembali tersenyum manis saat kedua matanya menangkap gerakan bibir tanpa suara itu tengah mengumpat. "Sialan lo!" Itulah yang Zarosa katakan.

"Oke. Semangat, sayang! Aku juga sayang kamu."

Zarosa memejamkan matanya, juga menutup telinganya kuat-kuat. Dia stress menghadapi tingkah laku ajaib laki-laki yang disebut-sebut memiliki IQ.145 itu. Tidak, baginya Rasya memanfaatkan kecerdasan itu untuk membuatnya sengsara seperti saat ini dan mirisnya dia tidak mampu melawan selain berteriak kencang dalam hati.

Gue harus cari ibu orang gila ini supaya bisa gue balikin ke dalam perut dan minta untuk nggak usah dilahirkan, batin Zarosa mulai frustasi.

***

TBC

Terimakasih kasih buat yang udah dukung dan bersedia mampir.

Jangan bosan ya.

The Brilliant & The UnfortunateWhere stories live. Discover now