🍁 8. Kompromi 🍁

Start from the beginning
                                    

"Selamat siang, Pak," ucap Rindu setelah mengetuk pintu.

"Masuk!" jawab Segara. Seperti biasa, fokusnya tidak segera berpindah dari layar laptop. "Duduk dulu!"

Rindu melangkah ragu, mendekat pada Segara, lalu duduk di kursi yang dipisahkan oleh meja kerja dosennya. Setelah duduk, Segara meliriknya sebentar dari atas kacamatanya yang sedikit melorot, kemudian kembali menatap layar. Lama tak ada suara sampai Rindu merasa tidak betah.

"Bapak, saya minta maaf," kata Rindu pelan. Dianggap mengganggu atau tidak, itu tidak dia pikirkan. Yang penting tunjukkan itikad baik dulu.

"Maaf untuk?" Kali ini, mata Segara meninggalkan laptopnya. Perhatiannya penuh tertuju pada Rindu.

"Maaf karena sudah berlaku tidak sopan." Setengah mati Rindu mengucapkan kata maaf, berharap Segara melupakan masalah ketika terakhir kali merevisi naskahnya.

"Sudah diperbaiki pekerjaannya?" Segara bahkan tidak mau repot-repot menanggapi ucapan Rindu. Baiklah, kalau memang begitu aturan main Segara, Rindu akan mengikutinya.

"Sudah, Pak." Rindu menyerahkan tumpukan berkasnya. Segara mulai membaca dengan saksama.

Selesai membaca, Segara kembali menatap Rindu. Tangannya mengambil pena, menandai di beberapa bagian. Kemudian, mulai menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang mesti ditambahkan.

Tidak benar lagi. Rindu mengendalikan dirinya dengan menarik napas. Ucapan Segara terdengar seperti dengungan lebah di telinganya. Apa yang dosennya itu katakan? Tujuan dan manfaat yang apa?

Sedikit saja, bisakah Segara mengatakan langsung apa yang harus ditulis Rindu? Alih-alih memberikan solusi cepat, pria itu justru memilih untuk menceramahinya. Ini bukan kuliah teori dua sks sehingga telinganya harus tabah untuk terus mendengar. Rindu merasa buntu, hampa, dan tidak berguna.

"Ngerti?"

"Pak, saya ...." Rindu mengusap air matanya yang bergulir menuruni pipi. "Saya ...."

Rindu gagal berkata-kata. Dia sibuk menenangkan diri, meredakan tangis yang tiba-tiba tumpah tanpa bisa ditahan. Tangannya sibuk mengeringkan pipi, sedangkan isak pelannya terdengar memilukan.

Beberapa saat kemudian, Rindu mulai tenang. "Maaf, Pak," katanya seraya menunduk jengah.

Rindu melihat Segara sudah melepas kacamata. Tangannya terlipat di dada, duduk bersandar di kursinya. Pandangannya lurus ke depan, tidak ada ekspresi apa-apa di sana.

"Sudah tenang?"

"Iya. Maaf." Rindu masih mengusap halus pipinya dengan telapak tangan. Beberapa kali, dia usapkan telapak tangan ke celana jinsnya dan kembali mengusap pipi.

"Kenapa kamu menangis padahal saya nggak berteriak?" Kali ini, suara Segara terdengar dalam, dan lebih pelan. "Saya hanya memberi masukan, supaya kamu bisa menambahkan, dan mengubah sedikit tata kalimat agar lebih enak dibaca."

Mendengar ucapan Segara, Rindu kembali menangis. Otaknya terasa buntu. Dia tidak mampu memahami ucapan Segara dengan baik, bagaimana bisa berpikir? Kalau berpikir saja sulit, dengan cara apa merevisi tulisannya di tenggat waktu tersisa?

"Ada apa? Ucapan saya susah untuk kamu mengerti?"

"Bapak ...." Rindu kembali mengusap pipi dan mengeringkan tangan ke celana jinsnya. Tindakan yang terus berulang seperti gerak refleks.

Rindu tidak mengucapkan apa-apa. Begitu pula Segara. Ruangan yang memang hening itu, terasa mencekam. Di luar, sepertinya juga tak ada mahasiswa yang mau menghadap.

"Kamu ada masalah?"

Banyak. Rasanya Rindu ingin meneriakkan itu. Dia bisa gila jika terus diam dan berpura-pura seolah semua baik-baik saja.

"Cerita saja!" kata Segara. "Mungkin, saya bisa bantu."

"Pak ...." Bagaimana mau memulai? Rindu tak tahu di mana semua berawal.

"Cerita inti masalahnya saja!"

Awalnya, Rindu tidak tahu bagaimana mulai bercerita. Beberapa saat kemudian, dari bibirnya berhamburan cerita tentang semua masalah yang sedang terjadi. Dimulai dari tekanan membuat tugas akhir yang sudah menjelang deadline, orang tua yang tak mau tahu kesusahannya, kekasih yang pergi dan meninggalkan cerita kelam serta tuduhan tak berdasar. Semuanya berjejalan di kepala hingga rasanya seperti mau pecah.

Rasa malu menyerang Rindu ketika tak ada lagi ganjalan di benaknya. Tangisnya pun sudah reda. Tak ada air mata tersisa di pipinya. Dia menunduk malu, menyesali kebodohan dirinya yang sudah hilang kendali di depan Segara.

"Masalah yang kamu hadapi itu memang nggak mudah."

Segara menasihati Rindu supaya mengesampingkan masalah yang terjadi. Semua merupakan garis takdir dan tidak bisa diubah. Dirinya harus tegar dan melanjutkan hidup. Tugas akhirnya harus selesai.

"Tapi, Pak ... saya itu nggak terima dikatain begitu. Pengin balas dan nunjukin kalau saya nggak begitu."

"Mau balas gimana?" tanya Segara santai. "Yang ada malah jadi perang mulut, gosip memanas, dan banyak orang kepo."

"Tapi, 'kan, puas hati saya, Pak?"

"Lalu, apa?" Masih dengan gaya santainya, Segara mencoba membuat Rindu mengerti. "Apa yang kamu rasa setelah berhasil mendaki gunung?"

Kepuasan, pencapaian pribadi yang kemudian bukan apa-apa selain perasaan senang sesaat. Kemudian, tak ada rasa lain yang bisa ditunjukkan pada orang lain untuk diakui sebagai kebanggaan. Orang tidak memiliki kesenangan yang sama hingga dapat mengerti bagaimana ketika momen itu terjadi. Begitu pula dengan mendaki gunung. Kebahagiaannya hanya bisa dirasa oleh sesama pendaki, lalu mereka turun dan berniat untuk mendaki gunung lainnya.

"Kamu ngerti maksud saya?"

"Tapi ...."

"Tapi, hidup terus berjalan. Tugas akhirmu harus selesai, 'kan? Luluslah! Kalau ini selesai, kebahagiaanmu tak akan menghilang, kebangganmu bertahan, dan orang tuamu bahagia."

"Susah, Pak."

"Mau melawan apa yang sudah jadi takdir?" Suara segara terdengar Sabar. Sorot matanya bahkan terlihat lembut. "Kamu sudah kehilangan tanpa bisa berbuat apa-apa. Tapi, kamu masih punya kesempatan untuk memperjuangkan tugas akhirmu."

Rindu terdiam. Memikirkan ucapan Segara yang memang benar adanya. Kemudian apa? Kembali mengerjakan tugas akhir? Dirinya tak yakin mampu.

"Sulit, Pak. Nyerah saja, ini nggak akan selesai." Rindu sudah menghitung waktu tersisa. "Saya nggak sepintar itu."

"Sebulan saja bisa selesai. Kenapa kamu nyerah?"

"Saya bisa, Pak?" Ada pendar harap yang muncul di hati Rindu.

"Bisa. Asal bersungguh-sungguh."

Setitik harap yang sempat muncul di hati Rindu kembali lenyap. Bagian mana dari dirinya yang tidak bersungguh-sungguh? Hasilnya tetap saja revisi berkali-kali. Belum bab dua, tiga, dan seterusnya. Sebulan kata Segara? Jika dosennya bisa mengatakan itu, Rindu bersedia mencoba. Tidak sebulan, tetapi waktu tersisa lebih dari itu.

"Baik, Pak!"

"Duduk sana!" Segara menunjuk rak buku di mana ada karpet terbentang bersama meja pendek yang siap digunakan. "Kerjakan di sana dan jangan pulang sebelum selesai! Tanyakan langsung apa yang menjadi kesulitanmu dan saya akan memeriksanya!"

Bekerja dan dipantau langsung. Rindu tidak tahu, ini namanya berkah atau bencana. Segara mengatakan apa tadi? Jangan pulang sebelum selesai? Seriuskah dosen itu dengan ucapannya padahal tahu bahwa Rindu tak sepintar itu? Segalanya layak dicoba, batin Rindu.

Menurutku, sih, ini bencana. Secara, yaa, Rindu nggak pinter-pinter amat😝😝

Love, Rain❤

Kidung Merah JambuWhere stories live. Discover now