me: ih! jangan!

Arvin: kenapa?

"Pakai nanya! Ya malu, lah!" seru Kalila, dengan semangat kedua ibu jarinya menekan-nekan layar ponsel.

me: gue jawab sekarang deh

Arvin: wah..

me: apa?

me: kenapa?

Arvin: gue deg-degan haha. oke gue siap

me: gue jawab sekarang, ya?

Arvin: nggak sekarang juga gapapa

Arvin: tapi gue harap lo nggak nilak sih

Arvin: nolak. ah sampai typo

me: lo lebih banyak omong di chat ya wkwk

me: pengin gue jawab sekarang! kalau nggak sekarang, malam ini gue nggak bisa tidur dengan tenang

Arvin: waduh.. kayaknya gue yang nggak bisa tidur tenang nih

Kalila menggigit bibir sambil bersandar di kepala tempat tidur. Sudah ada beberapa cowok yang menembak Kalila saat dia masih SMP, bahkan ada beberapa orang yang menembaknya, tetapi Kalila menolak dengan tegas karena dia teringat kata-kata Ibu bahwa dia tidak boleh pacaran saat SMP karena SMP adalah masa-masa labil seorang anak yang beranjak remaja dan masa itu adalah masa-masa seseorang gampang terpengaruh oleh lingkungan.

Namun, Ibu tidak pernah membiarkannya atau melarangnya berpacaran saat SMA. Ibu tidak mengatakan apa-apa dan Kalila juga tidak membahas apa pun tentang hal itu. Mungkin, karena selama SMA tidak ada cowok yang mendekati Kalila sehingga Kalila pun tak membicarakan tentang lawan jenisnya.

Kalila juga belum pernah jatuh cinta pada seseorang bahkan berpikir untuk menaruh rasa pada Arvin tidak terlintas sedikit pun di benaknya. Jika jatuh cinta terasa mudah pada cowok yang tampan, maka itu adalah jawaban mengapa Kalila belum pernah jatuh cinta. Kalila akui, Adam, Jiro, dan Trey adalah turunan dari pasangan yang cantik dan tampan, Ibu dan Bapak. Sementara jika jatuh cinta karena sifat yang menarik dari seorang cowok, maka wajar Kalila juga belum pernah jatuh cinta karena belum pernah bertemu dengan cowok baik yang sesuai dengan tipe idealnya.

Sebenarnya, Kalila merasa Arvin sedikit berbeda. Apalagi pertemuan pertama mereka yang terasa sangat membekas. Sikap Arvin yang bertindak tanpa banyak bicara membuat Kalila tiba-tiba tersenyum membayangkan momen itu. Pandangan Kalila jadi sedikit berubah pada Arvin setelah dia memikirkan cowok itu barusan.

Dia sudah kelas XI dan sudah 16 tahun beberapa bulan lalu. Apakah dia coba berpacaran saja? Rasanya, tidak akan rugi mencoba berpacaran pada cowok seperti Arvin. Dia masih bisa melihat sifat cowok itu ke depannya.

Ah, astaga! Kalila lupa. Dia pernah mengatakan kepada Jiro bahwa dia tidak akan berpacaran sebelum lulus SMA.

Kalila berguling di tempat tidurnya, frustrasi karena dilema.

me: tiba-tiba gue bingung.

Sebuah panggilan masuk dari Arvin, membuat jantung Kalila berdetak kencang dan membuat cewek itu panik. Dia langsung terduduk dan mengembuskan napas pelan saat menerima panggilan dari cowok itu.

"Ya?" balasnya dengan suara datar, mencoba untuk terdengar santai disaat jantungnya tidak bisa santai.

"Bingung kenapa?"

Kalila berbaring dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Suara bass Arvin tiba-tiba membuat perasaannya jadi tidak keruan. Apakah ini efek dari pernyataan cinta dari cowok itu?

"Gue belum mau pacaran, sih," balas Kalila di dalam selimut.

Hening sesaat di seberang sana sampai kemudian Arvin berkata, "Gimana kalau kita coba dulu?"

"Coba dulu ... gimana?"

"Coba pacaran. Kalau lo nggak nyaman buat pacaran sama gue, lo bisa putusin gue kapan pun lo mau."

"Kok gitu? Ngerugiin lo nggak, sih?"

"Enggak, kok."

"Kalau gue terima lo malam ini, terus besok gue mutusin lo emang lo mau?"

"Mau mau aja. Nanti gue tembak lo lagi."

Pipi Kalila terasa kram karena tersenyum. Dia bahkan tak sadar mengguling dirinya di dalam selimut. "Lo suka gue?"

"Iya, lah."

"Sejak kapan?"

"Sejak gue merhatiin lo sebagai adiknya Trey," balas Arvin. "Lama-lama jadi naksir."

Kalila tersenyum. Sebenarnya, bagi Kalila, wajah Arvin biasa-biasa saja. Mungkin karena di rumahnya ada tiga cowok dengan tampang di atas Arvin. Akan tetapi, Kalila lebih memilih cowok dengan wajah biasa saja, tetapi memiliki sifat yang baik dan menarik. Arvin masuk dalam kriteria cowok baik dan menarik, setidaknya untuk saat ini.

"Tapi gue nggak suka lo," kata Kalila. "Masa pacaran sama cewek yang nggak ada rasa sama lo?"

"Perasaan bisa berubah dengan cepat," balas Arvin. "Gue rasanya frustrasi karena pengin banget pacaran sama lo, Lila."

Kalila bersila di atas tempat tidurnya, lalu mengembuskan napas, mencoba untuk tenang. "Gue coba."

"Ya?"

"Gue coba pacaran sama lo. Mulai ... detik ini?"

"Serius?"

"Iya."

"YES!"

Kalila tertawa kecil, lalu menutup mulutnya agar tidak mengeluarkan suara yang aneh. Tiba-tiba saja dia khawatir tak sadar memperlihatkan image yang jelek pada Arvin.

Saat Kalila masih kelas X, dia melihat beberapa pasangan kakak kelas dan Kalila terkadang membayangkan berada di posisi itu, berpacaran dengan seorang cowok yang berasal dari sekolah yang sama, lalu berangkat dan pulang sekolah bersama-sama.

Arvin berdeham di seberang sana. "Apa lo sibuk sekarang?"

"Gue nggak sibuk. Gue nggak bisa tidur."

"Jadi, kita sekarang pacaran, kan?"

"Iyaaa, Arvin, kita pacaran." Kedua kaki Kalila yang menggantung di luar tempat tidur bergerak-gerak tanpa dia sadari. Tatapannya mengarah ke jendela dan melihat pemandangan remang di luar sana.

TOK TOK

Suara pintu yang diketuk membuat Kalila sedikit terkejut. "Vin, udah dulu, ya. Ada yang ngetok pintu, kayaknya Ibu," bisik Kalila.

"Oh, oke. Sampai ketemu besok, Kalila."

Kalila tersenyum sambil menggigit bibir. "Sampai ketemu besok, Arvin!" serunya, berbisik, lalu dia mengakhiri panggilan itu dan segera bangkit.

Ketika membuka pintu kamarnya yang tidak terkunci, dia terkejut melihat Jiro berdiri dengan tatapan dingin yang tak pernah dia perlihatkan sebelumnya. "Kak ... Jiro?"

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Ruang dan WaktuWhere stories live. Discover now