Kamu Prioritas Utama

Mulai dari awal
                                    

Pukulan itu dilayangkan lebih keras ke dada Ivan.

"Lo bikin gue takut seharian dan lo ga pernah bilang maaf soal ini! Gue ga suka jadi orang kesekian yang tahu soal keputusan besar lo! Gue ga pernah minta—"

Teresa terdiam sejenak sebab tenggorokannya terasa sakit.

"Gue ga pernah minta banyak hal ... gue cuman mau jadi yang pertama tahu soal lo, Van. Gue ga mau jadi orang yang ga tahu apa-apa karena jadi orang yang ga tahu apa-apa itu ga menyenangkan."

Perlahan Ivan mendekat, mendekap tubuh Teresa.

Erat dan lebih erat lagi ke dalam pelukannya.

"Maaf. Maaf udah buat kamu khawatir."

Teresa menangis semakin kencang dan memeluk erat lelaki di hadapannya.

"Selain karena aku masih marah soal Raven. Alasan utamanya adalah karena aku takut aku berubah pikiran. Aku takut keadaan buat aku milih ... karena keputusan ini aku mungkin ga akan ketemu kamu dan itu yang kadang buat aku berubah pikiran."

Teresa melepas pelukan mereka, mendongak menatap Ivan. "Takut?"

"Karena ga ada yang bisa buat aku berubah pikiran di dunia ini, kecuali kamu. Aku takut perasaan aku buat aku berubah pikiran dan takut untuk pergi."

"Jangan bilang setelah lo lihat gue nangis lo jadi ga mau pergi," kelakar Teresa dengan wajah sembapnya.

"Jujur iya, kepikiran. Apa kuliah di sini aja, ya?"

"GILA! JANGAN! LO HARUS KE AEBS. Lo udah memenuhi kriteria buat kuliah di sana jangan disia-siain!"

Ivan terdiam menatap wajah Teresa lekat-lekat. Matanya memperhatikan setiap lekuk wajah Teresa.

"Gue bahagia lihat lo raih mimpi lo, Van."

Desiran tak karuan itu muncul di hati Ivan, dadanya terenyuh. Kemudian Ivan meraup pipi Teresa, mencium bibirnya untuk waktu yang lama. Kedua mata mereka saling menutup dan terlarut dengan kehangatan itu.

Teresa melingkarkan kedua tangannya di leher Ivan. Sementara Ivan mencengkeram pinggang Teresa cukup kuat sambil memperdalam ciuman mereka.

"I love you, Sa."

Teresa mengangguk sambil memandang Ivan, mendongak karena tingginya hanya sebatas bahu.

"Cuman ngangguk, doang?"

"Itu jawaban, loh."

Ivan hanya terkekeh kemudian mencium kening Teresa.

"Selama pacaran kamu ga pernah bilang I love you, aku cinta kamu atau apalah sejenisnya," keluh Ivan kesal.

"Manja banget. Cinta tuh ga perlu bilang I love you tiap hari ... yang penting itu aksi. Cinta itu kan dirasain sama dilihat, Van. Bukan didenger doang ...."

Ivan menggigit bibirnya, menimbang-nimbang. "Yaudah, deh ...."

***

Pukul 11 malam, Ivan baru kembali dari mengantar Teresa pulang.

"Lo bukannya banyak istirahat malah keluyuran malem-malem."

Ravendra sudah berdiri di depan sofa kulit dengan televisi yang masih menyala menayangkan seri Twilight.

"Bacot. Bukan urusan lo."

Lelaki dengan jaket denim army dan jogernya berjalan begitu saja melewati Ravendra yang sudah menunggu kepulangannya 2 jam lalu.

"Gue masak tahu lada garam, itu ada di meja makan."

"Bacot, anjir. Gue ga peduli," jawab Ivan.

If We Didn't MeetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang