Kalila menyisir rambutnya sambil terus mengomel. Dia mengusap bando kesayangannya. Untung saja tidak terkena tangan kasar Trey. Suasana hati Kalila jadi buruk karena anak itu. Alhasil, dia hanya menguraikan rambut panjang tanpa poninya dan langsung memakai bandonya di kepala. Dia harus menunggu makan malam tiba. Beberapa pekerja rumah tangga sedang mempersiapkan makan malam. Kalila tentu saja tidak akan dibiarkan jika memasuki dapur karena terakhir kali dia ke dapur, jarinya terluka dan darah segar mengalir deras karena memotong bawang putih.

Kalila membuka lemari dan mengambil sebuah kotak yang terlihat seperti buku. Itu adalah brankas kecil berisi benda peninggalan berharga dari seseorang yang tidak dia ketahui keberadaannya. Kalila duduk di tempat tidur dan membuka kunci brankas kecilnya, lalu dia mengeluarkan sebuah kalung liontin. Tertulis nama Kalila di penutup liontin itu. Nama yang sudah disiapkan oleh seseorang yang meninggalkan Kalila di depan rumah ini.

Kalila tidak bisa tidak tahu tentang kebenaran bahwa dia bukanlah anak kandung Ibu dan Bapak. Mamanya Emily, entah kenapa, selalu sinis padanya dan selalu membahas fakta menyakitkan itu jika mamanya Emily dan Ibu berseteru. Namun, Kalila bersyukur dia jadi terbiasa dan menerima kenyataan yang ada bahwa dia bukanlah bagian dari keluarga ini. Akan tetapi, bukan berarti Ibu dan Bapak bukanlah Ibu dan Bapaknya. Atau Adam, Jiro, dan Trey bukanlah kakak-kakaknya. Mereka semua tetap sama, bagian keluarga Kalila.

Kalila membuka liontin itu. Sebuah hologram muncul dan membuatnya terkejut. Tertulis sesuatu yang cahaya birunya keluar dari dalam liontin itu.

Hanya untuk Kallila

Dari Mama dan Papa, di tahun 2081

***

Jiro menyandarkan punggungnya di sandaran jok mobil sambil bersedekap. Jika bukan atas paksaan Paman dan Bibi, maka dia tidak akan mau datang ke rumah keluarga kandungnya itu.

Jika Jiro bisa kembali, maka akan dia lakukan. Namun, mobil sudah terlanjur parkir di halaman rumah Ibu dan Bapak. Jiro keluar dari mobil, disusul Paman dan Bibi yang tampak antusias dengan makan malam ini. Cahaya lampu menerangi rumah bertingkat dua itu. Cat dinding putih membuat rumah itu terlihat semakin terang.

Kekecewaan Jiro masih tertanam cukup dalam di hatinya. Ketika mendiang anak Paman dan Bibi masih ada, Jiro sempat khawatir dia akan terbuang untuk yang kedua kalinya karena selama ini kasih sayang yang Paman dan Bibi berikan tak pernah pudar sedikit pun. Paman dan Bibi tak pernah mengabaikannya meskipun mendiang anak mereka terlahir ke dunia. Namun, umur anak itu hanya singkat dan kembali dipanggil ke sang pencipta.

Jiro kembali merasa kesepian padahal dia sudah merasa senang dengan kehadiran anak bayi di rumah Paman dan Bibi yang membuat ramai.

Jiro melepaskan diri dari tangan Bibi, lalu segera kabur ketika Bibi dan Ibu sedang melepas rindu.

Dia ke halaman samping yang hanya diterangi satu lampu remang-remang. Dia duduk di atas kursi beton sambil mengamati suasana di ruang tengah yang terlihat dari dinding kaca. Pandangannya teralihkan dari Ibu dan Bibi pada dua orang yang sedang kejar-kejaran. Trey dan Kalila. Mereka masih sama-sama kekanakan.

Jiro merasa jauh. Posisinya sebagai anak kandung benar-benar tergantikan oleh Kalila. Tangan Jiro terkepal. Dia lalu mendengkus sebal dan kembali memusatkan perhatiannya pada Kalila dan Trey.

Trey sedang memasuki kamar tamu dan Kalila tidak melihat itu. Kalila masih terus berlari dan mencari keberadaan Trey, tetapi tidak kunjung dia temukan. Kalila berlari menuju halaman samping yang pintu kacanya terbuka, tempat di mana Jiro berada saat ini.

Ketika Kalila berdiri di ambang pintu, dia terkejut saat matanya dan Jiro bertemu.

"Kak Jiro...."

Jiro terdiam memandang lamat-lamat wajah terkejut Kalila. Perasaan aneh muncul di hatinya ketika melihat Kalila lebih jelas dan dekat. Jiro tak bisa mengalihkan perhatiannya dari wajah Kalila. Sudah berapa lama mereka tak bertemu sampai Kalila terlihat berbeda di pandangan Jiro saat ini? Anak perempuan itu telah tumbuh dengan baik dan membuat Jiro merasakan keanehan di hatinya.

Rambutnya terurai panjang dan dihiasi bando putih yang Jiro kenali. Jiro ingat bando itu. Jika bukan atas paksaan Bibi karena saat itu Jiro hanya memberikan kado untuk Trey, maka Jiro tidak akan memberikan kado apa pun. Dia sengaja membeli bando murahan, tetapi ... ternyata Kalila memakainya sekarang?

Saat itu, di hari ulang tahun Trey dan Kalila, Jiro tidak datang dan memilih untuk bermain dengan teman-temannya. Tidak ada acara ulang tahun kekanakan seperti saat mereka berdua masih berumur lima tahun. Jadi, Jiro merasa tak perlu datang meskipun saat itu hanya acara kecil-kecilan keluarga besar.

Kalila masih berdiri kaku di sana. Jiro baru sadar dia belum mengatakan apa-apa pada anak perempuan itu. Jiro berdiri dan berhenti di hadapan Kalila yang menghalangi satu-satunya jalan. Kalila menunduk, terlihat canggung. Wajar, mereka sudah lama tidak bertemu.

Jiro bisa melihat Kalila dari dekat dan mengamati wajah memerah gadis itu.

"Aku mau lewat," kata Jiro dengan suara pelan, membuat Kalila segera menyingkir.

"Ma—maaf, Kak," balas Kalila sambil menunduk.

Jiro menoleh pada Kalila yang menunduk di sampingnya. "Kamu kelihatan cantik pakai bando itu. Bando dari aku, kan?"

"Y—ya, Kak." Kalila mendongak padanya, terlihat mencoba berani. Jiro bisa melihat wajah memerah Kalila yang diterangi lampu ruang tengah.

Jiro segera memalingkan pandangan saat merasa ada yang salah pada dirinya. Bagaimana mungkin dia tertarik pada adiknya sendiri? Ini jelas sebuah kesalahan besar.

Namun, Jiro segera tersadar.

Tak ada yang salah.

Mereka bukanlah saudara.

Maka dari itu, Jiro kembali menoleh ke sampingnya, menatap Kalila yang tak kunjung pergi.

"Kalila," bisiknya sambil tersenyum penuh arti. "Ingat baik-baik apa yang gue katakan malam ini. Kita. Bukan. Saudara. Ngerti?"

Kalila menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca, tetapi Jiro tidak ingin mengatakan apa-apa lagi dan segera pergi.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Ruang dan WaktuWhere stories live. Discover now