Tugas Umum

4.7K 294 3
                                    

Afra tak habis pikir dengan tingkah Adam, dia yang selama ini selalu dipusingkan dengan tugas kuliahnya, harus ikut dipusingkan pula dengan tugas sekolah pria itu.

"Ini kan tugas pribadimu, kenapa jadi tugas umum?!" Tentu saja Afra tak terima, kenapa dia harus jadi pembantu dalam semua hal termasuk pembantu dalam tugas sekolah milik Adam yang seharusnya menjadi tanggung jawab pribadi?

Adam yang tengah bersandar di dipan sambil tenggelam dengan buku bacaannya itu tampak tenang. "Ayahku memberikan gaji yang gak sedikit untuk kamu. Harusnya kamu bisa lebih berfungsi dengan gaji yang lumayan, kan?" Dia mengibaratkan Afra seperti robot.

Afra mendekat dengan wajah kesal sebelum merebut buku dari tangan Adam. "Aku gak mau kerjain tugasmu! Kamu pikir aku gak ada tugas kuliah apa?!"

"Tck ... kamu gak boleh keluar dari kamarku sampai tugasku selesai! Aku gak mau buang-buang waktu baca novel yang gak aku sukai kemudian buat analisisnya. Aku juga malas buat esai. Kamu yang harus melakukannya!"

Afra melotot. "Kamu aja malas, kenapa aku harus mau, Iblis?!"

"Karena kamu pembantu! Kamu gak punya pilihan untuk malas! Apa aku harus tegaskan kepada kamu, kalau laki-laki yang selalu kamu panggil, 'Iblis' ini adalah majikan kamu?" Nadanya terdengar tenang membuat Afra bungkam, tapi dada gadis itu bergemuruh. Rasanya dia benar-benar ingin menjambak rambut Adam sampai botak.

Pada akhirnya dia berakhir di kamar Adam untuk mengerjakan tugas pria itu. Mengabaikan tugas kuliahnya sendiri. Beruntung tenggat waktu tugas kuliahnya masih lusa, kalau besok, rasanya dia ingin gila malam itu.

"Ini apaan sih?" Afra menggaruk kepala dengan frustasi dari balik hijabnya. Dia benar-benar tak paham, karena semua buku pelajaran Adam menggunakan Bahasa Inggris. Belum lagi tugas yang sangat luar biasa. Seperti membuat makalah, esai, analisis novel, cerpen, dan lainnya. Dia benar-benar tak paham, kenapa sekolah Adam sangat merepotkan seperti siswanya.

"Heh? Kamu jurusan apa?"

"Humanities," jawab pria itu membuat Afra mengerutkan dahi.

"Hah? Maksud aku, kamu itu jurusan IPA atau IPS?"

"Kami gak memakai kurikulum milik pemerintah. Jadi gak ada jurusan-jurusan seperti yang kamu sebutkan. Jurusan yang kamu sebutkan biasanya dipakai di sekolah orang-orang miskin."

"Tck ... dasar sombong! Apa kamu tahu, masih banyak anak orang kaya yang sekolah di tempat umum dan memakai kurikulum pemerintah plus lebih bisa rendah hati daripada kamu!" Afra tak paham kenapa mulut Adam bisa sangat lemas dalam menghina. "Sekolah kamu yang gak seru. Kalau sekolah kami, orang-orang bisa masuk jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Anak IPA biasanya dicap anak pintar. Kalau IPS juga pintar, tapi mereka umumnya lebih santai dan gokil. Kalau anak Bahasa lebih kalem. Dulu aku anak IPA dan dicap pintar."

"Padahal gak, kan?"

"Hah ...." Afra menarik napas berusaha mempertebal kesabaran. "Kalau pembantumu ini gak pintar, kamu gak akan minta pembantu untuk mengerjakan tugas kamu!" Dia menekan kata 'pembantu'.

Adam mendongkak. "Kalau kamu cukup pintar, kamu gak akan jadi pembantuku."

"Hah ...." Afra menarik napas untuk meredam segala amarahnya yang ingin meledak.

Alhasil dia tak tidur sampai pagi hanya untuk mengerjakan tugas Adam. Si pemilik tugas malah tidur dengan nyaman dan merdeka.

***

"Saya dengar dari Bu Bunga, kamu memiliki hutang pinjaman online?" tanya Arka yang duduk di seberang meja kerjanya itu.

Afra menunduk malu "I-iya, Pak."

"Kamu harus hati-hati, Afra dengan pinjaman online. Pertama, mau bunganya kecil atau besar, kamu tetap terjatuh dalam riba yang dilarang dalam agama Islam. Riba itu tidak main-main dosanya."

Afra tetap menunduk malu, tapi dia sedikit heran, lantaran baru tahu bahwa Arka yang merupakan CEO salah satu perusahaan teknologi itu sedikit paham persoalan agama.

"Kedua, banyak pinjaman online yang sifatnya ilegal. Data pribadimu bisa disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu. Denda bisa saja naik dengan tak wajar. Akhirnya hutangmu membengkak. Pinjam uang sedikit, bisa sangat banyak saat dikembalikan."

Afra membenarkan hal itu. Dia tak menyangka hutangnya akan beranak pinak. Awalnya dia pikir semuanya mudah, apalagi adminnya yang super ramah dan baik. Eh, giliran uangnya sudah cair, dia kaget karena hutangnya naik dratis seiring berjalannya waktu. Belum bunganya, belum dendanya, belum diteror oleh debt collector sampai orang tuanya pun ikut diteror yang membuat ibunya meneleponnya untuk bertanya, tapi dia selalu mengelak dan berbohong.

"Ketiga, kemudahan pinjaman seperti itu akan membuat kamu kebiasaan untuk berhutang padahal bukan untuk sesuatu yang penting. Saya tidak tahu, ya, kebutuhanmu sebelum kamu di sini, tapi saya sangat sarankan, jangan terlibat hutang riba. Menjalani hidup dengan hutang riba itu sulit. Banyak karyawan saya yang gajinya besar, tapi tidak pernah merasa cukup bahkan selalu merasa kurang, karena terlilit hutang riba."

Afra mengangguk. "Baik, Pak." Dia harus membenarkan semua perkataan Arka. Dia saja selalu merasa hidupnya kacau dan ingin bunuh diri semenjak terlilit hutang yang dia tak tahu cara mengembalikannya.

"Besok kamu akan menerima gaji pertamamu. Saya harap kamu melunasi semua hutang-hutangmu di luar sana."

Afra mendongkak dengan wajah terkejut. "Beneran Pak?"

Pria berjas hitam itu mengangguk. "Ya."

Afra merasa seperti ada air dingin yang mengucur dari atas kepalanya. Terasa sangat menyegarkan. Tak sia-sia dia menjalani ujian kesabaran dalam bulan ini, pikirnya.

Pengasuh Mr. A (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang