CHAPTER 11 ◆ Leaving For New York

45 3 0
                                    

          WANITA cantik yang berdiri di hadapan Anya itu adalah Giulia Vicidomini yang merupakan ibunya Luca. Dia sempat memandang Anya dari ujung kepala hingga ujung kaki sebelum meletakkan gelas air putihnya yang ada di tangannya ke atas meja dan menatap mata Anya lalu berjalan ke arahnya.

          Anya tahu bagaimana membuat wanita itu melihat dirinya meskipun dia sendiri meragukan apakah wanita di hadapannya itu benar-benar terlihat tulus atau malah sebaliknya. Sebab tidak ada satu pun orang di dunia bawah ini yang benar-benar patut dipercayai.

          “Halo, Sayang!” Giulia menyapa Anya dengan ceria. Ia seperti wanita baik yang berhasil menjaga dirinya tetap cantik dan bugar bahkan setelah melewati usia lima puluh tahunan.

          “Oh, halo! Aku—” Anya balik menyapa Giulia seraya tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan, tetapi sebelum ia bisa memperkenalkan diri, Giulia menggandeng tangannya sembari tersenyum ke arahnya.

          “Aku tahu siapa dirimu, Sayang. Tidak ada berita baru yang beredar tanpa aku sadari, sebab menjadi ibu dari mafia memiliki keuntungan tersendiri.” Giulia berkata sembari terkekeh.

          Anya hanya tersenyum. Ia mendadak lebih waspada dalam sikap tenangnya. Ia bisa berpura-pura beramah tamah terhadap siapapun di tempat ini untuk menjaga dirinya tetap aman dan baik-baik saja. Ia sangat tahu dan selalu sadar jika tidak ada satupun orang di sekelilingnya ini bisa ia percaya seratus persen seperti yang telah ia pikirkan sejak melihat sosok Giulia bahkan yang lainnya. “Bolehkah aku berkata sesuatu?”

          Giulia mengangguk seraya tersenyum kecil. “Tentu. Silakan.”

          “Kau tidak terlihat seperti ibu dari tiga orang dewasa, tapi lebih seperti seorang ratu. Kau tipikal yang seolah-olah ‘jangan macam-macam dengan wanita sepertiku’. Kau wanita yang badass.” kata Anya yang mencoba bersikap ramah dengan nada candaan.

          Giulia tertawa lalu matanya melirik sang putra. “Aku menyukainya, Luca. Dia bisa menjadi seorang pendamping hidup yang menyenangkan.”

          Senyum Anya pun memudar. “Huh? Tidak! Aku—” Ia mencoba untuk berbicara tetapi Giulia mengangkat tangannya ke arahnya untuk berhenti yang membuatnya segera menutup mulutnya.

          “Tentu saja tidak sekarang, di masa depan kau mungkin akan melakukannya. Kau akan menemui sosok yang tepat untukmu.” Giulia berkata seraya mengedipkan mata pada Anya. Ia lalu berjalan ke arah chef dan berbicara dengannya.

          Anya menoleh ke belakang ke arah Luca dan melihatnya mencubit pangkal hidungnya karena frustrasi dengan kata-kata ibunya. Anya memutar matanya ke arah Luca sehingga dia mengepalkan tangannya yang dia letakkan di atas meja. Sang chef terlihat sibuk memasak menu sarapan untuk pagi ini. Aroma harum masakan sudah semerbak memenuhi ruang makan.

          Mata Anya hampir berbinar dengan menu sarapan hari ini. Luar biasa. Dia terkadang hanya memakan makanan buatan sendiri seperti roti isi hanya untuk sekedar mengganjal perutnya saat di pagi hari, namun kali ini dia bisa makan steak dengan tenang. Menyimpan makanan di tempat tinggal bersama dengan banyak orang memungkinkan makanan akan diambil tanpa permisi—dicuri—maka dari itu Anya yang terlalu perhitungan merasa malas untuk menyimpan makanan mewah di lemari pendingin di dapur mansion.

          Luca memandang Anya dengan heran sepanjang waktu sebelum kembali duduk di samping Anya. “Sepertinya sarapan ini jauh lebih menarik daripada apapun.” Ia berbisik di telinga Anya dan ia sama sekali tidak terlihat seperti seorang pembunuh berhati dingin yang tidak punya emosi atau bahkan raja mafia, ia lebih terlihat seperti pria yang tidak punya masalah apa pun dan terlihat seksi sekali bahkan sambil menyengir.

Darker Than NightWhere stories live. Discover now