"Kalian saling menyayangi Ga, gak ada yang salah sama hal itu. Yang salah itu aturan keluarga kita."

"Apa gunanya semua itu kalau toh ujung-ujungnya gw menyakiti orang-orang yang paling pengen gw lindungi. Terutama nyokap gw."

"..."

"Mama gw sakit-sakitan, gara-gara nangisin gw tiap hari. Papa Dan kakek gw, marah besar sama gw! Kayaknya sekarang gw bukan bagian dari Winata lagi."

"Selamanya lo itu Winata, Ga! Darah gak bisa lo hapus!"

"By blood iya, tapi gw gak punya hak apapaun lagi sekarang. Kakek gw udah cabut semua fasilitas gw. Gw sih yang lebih tepatnya yang ninggalin semuanya."

"Lo tinggal pulang dan minta maaf sama Papa dan kakek lo."

Arga kembali menghembuskan asap tebal dari mulutnya, kali ini terasa lebih berat. "Gak segampang itu,  pertama, mereka belum tentu maafin gw, dan yang kedua gw gak bisa ninggalin Cecil. Gw udah janji bakal ngelindungin dia sampe kapanpun."

Sesaat hening tercipta di antara kedua sahabat lama ini. Hanya suara nafas berat yang terdengar dari keduanya secara bergantian.

"Makanya, gw setuju sama saran Gisel tadi ke lo. Jangan pernah memulai apapun yang lo tau gak ada ujungnya."

"Tapi gw gak bisa lepasin Dinda! Gw baru jadian satu minggu sama dia. Gw dapetin dia dengan susah payah dan.."  Ucapan Putera terputus, dia agak malu menyebutkan kalimat berikutnya, apalagi di depan Arga. "Gw.. sayang beneran sama dia!"

"Yaah.. Kalau udah begitu, lo harus siap-siap aja. Gw cuma kasih saran, sisanya biar lo dan Dinda yang mutusin. Kasih tau dia kemungkinan terpahitnya, kalau lo nanti bakal dijodohin sama orang lain."

Pandangan Putera terlihat menerawang jauh entah kemana, dia kebingungan dengan situasi yang dia hadapi sekarang.

"Gw sama Dinda paham kok konsekuensinya."

"Yaudah kalau kalian siap, jalanin aja. Tapi jangan pernah janjikan apapun sama Dinda. Dan jangan pernah taruh ekspektasi apa-apa. Udah nasib kita, dari kecil gak pernah punya pilihan." Jawab Arga dengan getir.

"Bangsat memang!"

"Iya, Winata bangsat!" Umpat Arga dengan suara yang lumayan keras.

"Atmadja juga bangsat!" Putera tak mau kehilangan kesempatan untuk bisa mengumpat keluarganya sendiri, sesuatu yang dia syukuri dan dia benci dalam waktu bersamaan.

Ada tawa kecil yang menghiasi bibir keduanya. Umpatan itu memang tak menyelesaikan apa-apa, tapi setidaknya ada sedikit beban di hati Putera yang berkurang.

"Mungkin gak ya gw dan Dinda bisa bersama selamanya Ga?"

"Lo seserius itu sama Dinda?"

Putera mengangguk "rasanya gw kayak menemukan sesuatu yang udah lama gw cari. Gw nyaman banget sama dia, gw gak pernah merasa insecure. Seolah-olah gw sama dia setara, cocok, klop! Dia punya sifat yang baik kayak ibu gw dan dia juga lucu kayak sosok cewek yang selama ini gw idamkan."

"Wah! Jatuh cinta beneran ini sih!"

"Siapa yang bilang main-main?"

"Yaudah, lakuin apapun yang membuatmu lo seneng Put! Tapi jangan pernah taruh ekspektasi apa-apa. Itu aja pesen gw!"

Putera mengangguk tanda mengerti. "Lo tau gak, sangking cocoknya gw sama Dinda, rasanya gw pengen banget kenalin dia ke ibu." Tanpa sadar, lelaki manis itu tersenyum saat membayangkan momen pertemuan antara Dinda dan ibunya.

"Apakah itu memungkinkan?"

"Jelas aja enggak!" Putera tersenyum getir. "Bisa shock Ibu gw, karena selama ini gw gak pernah memperkenalkan cewek ke beliau. Ibu juga gak pengen gw pacar-pacaran. Katanya, takut gw jatuh cinta dan melawan aturan keluarga Atmadja."

AURORAWhere stories live. Discover now