Hai, Selesai. [23]

Mulai dari awal
                                    

Lalu, hari ini, tepat di mana Disyaa sudah beradaptasi pada lingkungan Jakarta, tanpa sosok kedua kakaknya itu, mengapa harus tiba-tiba mereka kembali hadir? Seolah enteng, dengan dan tanpa permisi, tiba-tiba datang bersama perintah yang menurutnya memaksa. Siapa mereka? Bahkan saat Disyaa tumbuh dewasa saja, sosok keduanya tidak ada. Hanya sebatas kabar, kiriman uang, tanpa memperlihatkan raga dan jiwanya untuk saling merangkul dalam dekat. Seolah merasa tak ada beban, meninggalkan gadis kecilnya juga sang mama.

"Lo pergi selama itu, tiba-tiba datang dan nyuruh gue pindah, Bang? Segampang itu?" Disyaa menggeleng. Dirinya kecewa, benar-benar kecewa. Butuh waktu cukup lama untuk bisa kembali menerima kehadiran keduanya, yang selama ini telah menelantarkannya.

"Maaf," ungkap Dino. Seolah tak ada kata lain, menjabarkan segala alasan yang masuk akal mungkin? Mengapa dirinya seolah pasrah tanpa ingin memberi penjelasan agar semua terselesaikan?

"Hidup berdua sama Mama gak segampang itu asal lo tau," ucap Disyaa. Netranya memanas, mengingat segala perjuangan sang mama sampai akhirnya ia bisa berpendidikan di tingkat SMA.

"Lo gak tau, kan? Tiap malem gue harus bikin Mama tenang, karena depresi dengan kepergian lo!" Disyaa tak mampu menahan air matanya.

Masa lalu itu terlalu sakit untuk diingat. Segala tentang pergi, kehilangan, sudah benar-benar ia rasakan. Lalu mengapa, di saat dirinya sudah kembali bangkit bersama sang mama, dengan memulai lembaran baru di tempat tinggalnya saat ini, penyebab luka itu kembali hadir? Seolah tak merasa berdosa, atas apa yang telah mereka perbuat selama ini.

"Mama udah dibuat depresi dengan kepergian Papa, dan lo berdua malah bikin Mama tambah depresi tau gak!" tandas gadis itu. Sungguh, rasanya dua orang di depannya ini ingin Disyaa pukul saja. Terlalu sakit untuk banyak berucap, dengan alasan apapun, ditinggalkan tak pernah menyenangkan rasanya.

"Dan karena itu, gue jadi dikekang. Bahkan untuk pendidikan pun, Mama yang nentuin. Lo gak bakal tau gimana rasanya ngorbanin mimpi demi pilihan Mama." Disyaa tak bisa menahan air matanya, luruh seketika, layaknya hujan deras yang kini sempurna membasahi pipinya.

"Dari kecil gue gak pernah mimpi sedikitpun untuk sekolah di SMA itu, tapi sialnya, keadaan justru menuntut gue untuk jadi salah satu siswa di sana." Disyaa terkekeh, tawa hambar itu keluar, dirinya seolah mengingat sesal, tentang pendidikannya yang selalu bergantung pada pilihan sang mama.

"Tapi gak apa-apa, semuanya udah terlanjur." Disyaa menyeka air matanya, ia lalu melirik pada kedua laki-laki yang sedari tadi fokus mendengarkan emosinya.

"Dan gue akan selalu inget, kalau lo berdua penghambat mimpi gue," sambungnya penuh penekanan.

Detik jam dinding menjadi jeda, keheningan tercipta antara ketiga remaja kandung itu. Dua laki-laki yang semula tertunduk di atas sofa, kemudian berdiri, menghampiri gadis yang masih sibuk dengan air matanya.

"Gue minta maaf," ungkap Dino. Selalu Dino. Karena dasarnya, memang ia yang selama ini tak pernah hadir. Bahkan untuk kali pertama usai perginya, ini adalah pertemuan yang langka bagi Disyaa.

"Gue gak bisa," balas Disyaa sejujurnya. Memang, sesuatu yang menyakitkan rasanya terlalu sulit untuk dimaafkan.

"Gue akan tebus semua kesalahan gue di masa lalu, Syaa," ucap Dino. Tampak serius.

Disyaa meliriknya, netranya terangkat, menatap wajah yang hampir asing selama ini, kemudian tertawa geli mendengar perkataannya.

Hai, Selesai.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang