Bab 6; Jejak-jejak Luka dan Legenda Para Bunga

Start from the beginning
                                    

Kala pikir, setelah di Jakarta, ia tidak akan lagi menemukan meja makan yang kosong setiap pagi. Ia kira ia akan memiliki orang lain di sana untuk menemaninya menghabiskan sarapan. Nyatanya, pagi ke-tiga di Jakarta, ia kembali mendapati meja makan yang kosong, dan sepertinya ia juga harus kembali menghabiskan sarapannya seorang diri.

Menyingkir sejenak dari meja makan, pemuda itu memilih untuk mencari keberadaan Mama. Ia berjalan keluar, sampai akhirnya menemukan wanita dengan daster motif daun pakis itu sedang sibuk menata tanaman di halaman samping rumah, tempat yang saat Kala tinggalkan dulu hanya ditumbuhi satu batang pohon mangga, juga dihuni satu bangku kayu yang sering ia dan Denta jadikan area bermain sembari menunggu Papa pulang. Sekarang, tempat itu sudah disulap oleh Mama menjadi penuh tanaman. Pohon mangga yang dulu baru tumbuh sekitar dua meter itu pun kini sudah membesar dengan daun yang lumayan rindang. Sementara bangku kayu itu menghilang, mungkin sudah dihancurkan.

Kini pemuda itu sepenuhnya melupakan sarapan yang menunggu di meja makan. Ia lebih tertarik untuk menghampiri Mama dan melihat apa yang sedang wanita itu kerjakan.

"Mama," panggil Kala, begitu kakinya berhasil menginjak rumput basah di halaman. Jejak-jejak aroma hujan masih sangat membekas saat itu, bersama tetes-tetes embun di atas dedaunan.

Mama yang mendengar panggilannya seketika menoleh, senyum hangatnya mengembang. Lebih hangat dari matahari yang perlahan naik dan muncul dari balik awan. Kala tidak berlebihan. Ia bersumpah saat itu Mama benar-benar tersenyum hangat sekali menyambutnya datang.

"Pagi, Sayang! Eh, sarapannya tadi Mama siapin di meja. Udah di makan? Maaf, ya, Mama nggak nemenin. Barusan ada orang dari florist langganan Mama ngabarin mau nganter tanaman, jadi Mama harus terima sendiri. Ini, tuh, tanemannya udah Mama pesen dari lama, tapi baru ada hari ini. Mama seneng banget, deh."

Ah, ternyata mood Mama memang sedang baik berkat bunga. Bukan karena dirinya. Saat ia pertama kali datang kemarin, Mama bahkan tidak terlihat sebahagia itu. Tetapi satu pot tanaman dengan bunga-bunga kecil berwarna biru langit mampu menerbitkan senyuman Mama selebar itu.

Memberi jeda sebentar, Kala akhirnya maju untuk ikut melihat tanaman yang saat itu Mama pamerkan. Cantik. Pantas Mama begitu bahagia.

"Aku nanti aja sarapannya," jawabnya. Mama yang saat itu baru akan memindahkan pot tanaman lain seketika berhenti dan menatap Kala.

"Loh, kok gitu? Makan dulu sana. Keburu dingin banget nasi gorengnya. Nanti nggak enak lagi pas dimakan. Lagian nggak bagus juga nunda-nunda sarapan."

"Asalkan itu masakan Mama, udah dingin juga tetep enak."

"Bisa banget mujinya. Serius, nih, Mama. Dimakan dulu sana, keburu nggak enak."

"Iya, bentar lagi."

Namun, alih-alih bergegas, Kala justru mengambil alih pot yang dipegang Mama. "Ini mau dipindahin ke mana?"

"Kala ...."

"Aku bakal makan setelah bantuin Mama."

Saat itu, untuk pertama kali, Kala sepertinya memenangkan perdebatan. Ia bisa mendengar Mama mendecak keras karena salah satu pot bunga miliknya berpindah tangan, tetapi kemudian tersenyum lebih lebar. Dan Kala menganggap itu sebagai bentuk persetujuan untuk membiarkan Kala membantu pekerjaannya pagi ini sampai selesai.

"Ya udah. Ngalah, deh, Mama," katanya kemudian. "Yang itu tolong ditaruh di sebelah sana, ya. Karena daunnya udah mulai lebar, biar nggak ganggu pertumbuhan yang lain yang masih kecil-kecil dan butuh lebih banyak sinar matahari."

Kala menurut. Ia letakkan pot tanaman dengan daun-daun yang lumayan lebar itu ke bagian paling ujung, di mana tanaman lain dengan bentuk serupa berada. Menyisakan ruang kosong di bagian tengah yang kini tampak mencolok di mata Kala.

Hujan Bulan DesemberWhere stories live. Discover now