Bab 6; Jejak-jejak Luka dan Legenda Para Bunga

2K 331 163
                                    

Bab 6;Jejak-jejak Luka dan Legenda Para Bunga

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bab 6;
Jejak-jejak Luka dan Legenda Para Bunga

___________________________________

Kala pikir, hujan deras yang dikirim langit ke bumi kemarin siang adalah bagian dari misi alam semesta untuk menipiskan jaraknya dengan Denta. Mungkin, siang itu, langit sengaja berbisik kepada awan untuk menenggelamkan matahari dan menggantinya dengan hujan. Kemudian angin-angin yang berembus berkata kepada jalanan untuk menahan laju roda motor Denta sampai akhirnya pemuda itu memilih berhenti dan mencari tempat berteduh.

Kala pikir, setelah semua kebetulan itu, juga setelah melewati hampir satu jam untuk membicarakan beberapa hal, segalanya akan menjadi lebih baik. Namun, nyatanya, siang itu, ada beberapa pertanyaan Kala yang tetap tidak terjawab. Ada beberapa kalimatnya yang hanya berakhir Denta diamkan. Salah satu di antara semuanya adalah saat Kala bertanya apakah Denta masih mengharap kepulangannya setelah bertahun-tahun pergi tanpa kabar. Pertanyaan itu tetap tidak terjawab sampai akhir, sampai hujan perlahan reda, sampai lalu lintas kembali ramai, dan sampai mereka bergegas melanjutkan sisa perjalanan pulang.

Lalu, pagi ini, ia kembali terbangun tanpa menemukan saudara kembarnya di kamar. Lagi-lagi Denta tidak pulang sejak meninggalkan rumah tadi malam, tepat setelah mereka selesai menghabiskan makan malam yang Mama siapkan. Kala jadi penasaran, apakah sebelum ini pemuda itu memang sering menginap di luar, atau karena ada ia di sini makanya Denta jadi lebih suka tinggal di luar.

Kala bersumpah, ia sudah terbiasa bangun tanpa siapa pun di pagi hari. Ia sudah pernah melewati pagi-pagi serupa dalam lima tahun terakhir dan berhasil melaluinya sampai hari ini. Akan tetapi, terbangun seorang diri di kamar yang menjadi tempatnya tumbuh selama bertahun-tahun, di mana seharusnya di sana ada Denta, rasanya jadi berbeda. Tempat itu mendadak terasa berkali-kali lipat lebih sepi dari kamar yang ia tinggali saat pertama kali terbangun di rumah baru Papa. Perasaan kosong ketika ia tidak bisa menemukan kehadiran Denta di hari-hari itu jadi terasa lebih menyakitkan saat ia ternyata masih tetap tidak menemukannya padahal ia sudah ada di Jakarta. Di rumah mereka. Di kamar mereka.

Menghela napas panjang, pemuda itu akhirnya keluar dari kamar ketika jarum jam menunjuk pukul delapan. Di pagi-pagi sebelumnya, ia akan mendengar suara gaduh dari dapur ketika berjalan menuruni tangga. Ia akan mendengar samar-samar suara air
yang mengalir dari keran, juga langkah kaki Mama yang bergerak mondar-mandir di bawah sana. Namun, pagi ini berbeda. Kala tidak mendengar apa pun di dapur. Di meja makan juga tidak ada Mama, tetapi ia bisa menemukan satu piring nasi goreng dengan telur mata sapi dan irisan bawang goreng tersaji di sana. Hanya satu. Berarti Mama memang hanya menyiapkan untuknya. Berarti pagi ini memang tidak akan ada Denta.

"Gue ke sini, tuh, pengen ketemu lo. Tapi lo-nya pergi terus," gumamnya, sembari menatap kosong meja makan.

Yang kemudian seperti membawa de javu untuknya, pada hari-hari yang lain, saat ia selalu menyambut pagi dengan meja makan yang kosong. Saat Papa tidak ada di sana untuk menemaninya sarapan, dan hanya akan menyisakan dirinya sendiri dengan masakan yang terasa hambar. Pesan seperti 'Nanti Papa lembur, kamu beli makan di luar aja. Nggak usah tungguin Papa' pun hampir setiap hari ia temukan dalam sebuah catatan kecil yang ditempel di pintu kulkas, atau lewat pesan WhatsApp yang dikirimkan Papa di jam istirahat.

Hujan Bulan DesemberWhere stories live. Discover now