Bab 1; Desember, Hujan, dan Jalanan yang Basah

3K 456 219
                                    

Bab 1 ;Desember, Hujan, dan Jalanan yang Basah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bab 1 ;
Desember, Hujan, dan Jalanan yang Basah

__________________________________


"Besok, kita ke Jakarta. Ketemu mama dan kakakmu. Untuk sementara, selama Papa pergi, kamu tinggal dulu sama mereka."

Semalam, setelah Papa menyampaikan pesan itu, Kala tidak bisa tidur. Selesai mengemasi pakaian secara dadakan hingga hampir pukul sebelas, pemuda itu benar-benar terjaga di sisa malam yang bahkan masih panjang. Kasur miliknya pun seketika jadi tidak terasa nyaman, hingga ia terus membolak-balikkan badan, mengecek jam berkali-kali sembari diam-diam menghitung sisa waktu menuju fajar. Yang entah mengapa semakin dihitung, detik yang berjalan saat itu justru terasa semakin lamban. Jadi, malam tadi, di tengah hening yang menghantar suara-suara angin dari luar, Kala berakhir mencemaskan banyak hal.

Langit-langit kamar yang biasanya temaram pun semalam tadi seperti menjadi kaleidoskop ingatan yang memutar seluruh memorinya ke belakang. Di sana, segalanya bermunculan, samar, tetapi cukup untuk membuat dada pemuda itu seperti tercekik perlahan. Pertama ia seperti mendengar namanya dipanggil dengan begitu halus, lalu hari-hari saat ia masih bersama Mama mengambil alih seluruh ingatannya.

Saat suara wanita itu masih mengisi di tiap pagi dan wangi masakannya menguar dari dapur rumah mereka. Saat ia tidak perlu mengkhawatirkan apa pun karena ia punya Mama yang akan selalu memeluknya kapan pun ia meminta, dan mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Mama yang selalu membantunya menyiapkan seragam setiap hari, menyiapkan air hangat untuknya mandi, dan menemaninya belajar setiap malam.

Sampai kemudian ingatannya membuka lagi hari ketika semua yang tertata sempurna dalam sekejap hancur berantakan. Saat ia harus pergi, meninggalkan rumah, meninggalkan Mama, meninggalkan Jakarta, juga satu orang yang mungkin paling terluka atas perpisahan Mama dan Papa. Anak itu, saudara kembarnya.

Lima tahun berlalu sejak sore paling menyakitkan itu, dan sekarang Tuhan seperti menjawab harapan-harapan yang ia langitkan tiap malam di bawah pijaran bintang-bintang. Bahwa akhirnya Papa mulai dapat berdamai dengan keadaan, dan membuka kembali hatinya yang mati sejak runtuhnya dinding keluarga mereka. Untuk pertama kali setelah lima tahun, lelaki itu dapat menyebut kembali nama Mama dengan begitu tenang. Untuk pertama kali, Kala tidak melihat luka parah di mata Papa seperti saat terakhir kali mereka ribut besar gara-gara Kala nekat mencoba mencari cara untuk mendapatkan kontak dengan Mama. Melihat perubahan sikap Papa sekarang, Kala merasa lega.

Namun, lima tahun bukan waktu yang sebentar. Sama seperti bagaimana gedung-gedung perkotaan berubah menjadi lebih padat dan besar, bagaimana pohon-pohon yang tumbuh di sepanjang jalan menuju rumahnya kian meninggi, juga bagaimana kedai-kedai kaki lima yang dulu berjajar di pinggir jalan kini telah banyak yang dibongkar, sebagian dibangun menjadi tempat yang lebih nyaman, sebagian lagi tutup dan tergantikan. Ada banyak hal yang dapat berubah dalam lima tahun, dan Kala paham, bahwa apa yang dulu dia tinggalkan mungkin sudah tidak sama lagi sekarang. Pikiran-pikiran itu yang kemudian membuatnya gelisah bahkan sampai fajar memecah remang di dinding-dinding kamar.

Hujan Bulan DesemberWhere stories live. Discover now