Chapter 20: Revealed

7 3 0
                                    

All that is gold does not glitter;
all that is long does not last;
All that is old does not wither;
Not all that is over is past.
-Tolkien

Melihat El yang berlari, Aru ikut berlari. Mengejar El dari belakang, tapi banyaknya murid di tangga membuat Aru terhalang. Dia juga memeriksa dulu kamar mandi, meminta Ken untuk membantunya.

Ken, Sabila, Eugene mencari di semua sudut sekolah, tapi El tidak ada di sana. Kemudian Aru berlari menuju rumah El, tapi pintunya dikunci menandakan tidak ada siapa-siapa. Aru kemudian berlari lagi menuju kantor, menuju lantai, pasar, tapi El tidak ada.

Jantungnya berdegup kencang, khawatir El terluka.

"Itukah alasan kamu menahan semuanya, El?" tanya Aru, mencoba mengatur napasnya yang menggebu-gebu.

Pembunuh. Aku sudah tahu, tapi aku benar-benar tidak masalah dengan itu. Karena aku yakin kamu sudah berbeda sekarang. Aru berlari lagi ke sekolah, menelepon teman-temannya yang lain. Mereka juga tidak menemukan keberadaan El.

Ceritakan semuanya padaku, El. Kamu pasti ketakutan.

Akhirnya, mereka tidak menemukan di mana Eleine berada. Aru, Ken, Eugene dan Sabila akhirnya memutuskan untuk mencari kembali El setelah pulang sekolah, dan setelah Aru pulang dari kantor. Guru-guru pun mencoba untuk membantu, jika El tidak ditemukan hari ini maka mereka akan melapor polisi.

***

"Oh, Aru. Sudah pulang?" tanya ibunya Eugene ketika Aru baru saja sampai di depan rumah dengan menarik sepedanya.

Aru tersenyum dan mengangguk. Ada apa mereka berkumpul di depan rumah Aru?

"Begini, Aru. Ada yang ingin kami bicarakan."

Ibu Eugene, Eugene, Ken, dan Ayah Ken masuk ke dalam rumah Aru. Mereka duduk dengan mimik yang khawatir. Sedangkan Aru datang dari dapur membawa nampan berisi minuman dan kue kering.

"Ada apa, Bibi?"

Ibu Eugene meremas tangannya. "Aru, mungkin ini saatnya kami memberitahumu."

"Memberi tahu apa?"

Ayah Ken bersuara. "Soal ibumu."

Aru mengangkat wajahnya. "Apakah sudah ada kabar, Paman? Apakah ada petunjuk di mana ibu berada?"

"Aru-"

"Apakah Ibu baik-baik saja?"

Mereka terdiam.

"Ada apa?"

"Begini... Aru...."

***

Aru berlari ke kantor polisi dengan tergesa, orang-orang yang berada di sana juga sepertinya sudah tahu kedatangan Aru ke sini untuk apa. Mereka semua terdiam melihat Aru datang dengan air mata yang tak kunjung berhenti menetes.

"Di mana Pak Edwin?" tanya Aru, dengan suara gemetar.

"Aru," panggil seorang pria paruh baya di ambang pintu. "Kemarilah."

Dia adalah Edwin, kepala kepolisian di desa ini, sekaligus orang yang memegang kasus tentang ibu Aru yang menghilang.

"Aku sudah mendengarnya. Tapi, siapa....?"

"Stevenson. Pelakunya sudah dipenjara dan sekarang meninggal dunia. Kami tidak memberitahumu karena kondisimu yang tidak kunjung membaik, aku juga tahu tentang kamu yang menderita depresi dari psikiater Bu Maree."

Napas Aru terasa sesak, dia terjatuh ke lantai, memegang sweater yang diberikan oleh Edwin sebagai barang peninggalan satu-satunya.

Ibumu dibunuh karena terjerat pinjaman dengan seorang preman.

Maafkan kami, Aru.

Orang tuaku sudah meninggal, Aru.

Aku seorang pembunuh!

Tidak ada yang dapat Aru pikirkan lagi selain kata-kata itu yang berputar di kepalanya.

Setelah dari kantor polisi, Aru pergi ke atas lembah, menuju batu nisan yang selama ini tersembunyi di balik pohon ek yang mengarah ke laut. Tempat yang teduh. Tempat yang dilewati angin lembut. Aru terduduk di sana sembari memegang nisan ibunya.

Semua orang tahu ibunya sudah pergi, tapi Aru tidak diberitahu. Dia menunggu seperti orang bodoh, mungkin itulah alasannya kenapa Eugene dan Ken selalu membuang wajah ketika Aru membicarakan tentang ibunya?

Kenapa mereka bisa melakukan hal sekejam itu?

Lalu.... Stevenson?

Air mata Aru tidak berhenti mengalir. Dia menuruni lembah dan berjalan menuju rumah. Tidak. Bukan rumahnya, tapi rumah seseorang.

Awan berubah mendung, sore ini rintik hujan turun. Aru berjalan sampai matanya menemukan seseorang yang tengah terduduk di bawah hujan, menangis.

Sadar ada yang mendekat, seseorang itu mengangkat wajahnya dan menoleh, lalu mendapati Aru yang terdiam tak bersuara.

Seseorang itu-Eleine-tersenyum. Dia berdiri dari duduk dan berjalan mendekat.

"Kenapa kamu ada di sini? Aku enggak lakuin hal bodoh lagi, jadi ayo masuk ke dalam." El menarik tangan Aru, tapi dia tidak bergerak sama sekali.

"Aru?"

Aru melepaskan tangan El paksa, sedikit keras hingga gadis itu mengaduh.

"Ayumna Margen," kata Aru, seketika membuat tubuh El lemas. "Wanita itu, kamu yang membunuhnya dua tahun lalu bersama ayahmu, kan, Eleine?"

El menggeleng. Suaranya gagu. "Bu-bukan begitu, Aru. Aku, aku enggak melakukan itu. Ak, aku-"

"KENAPA, EL?!" Suaranya berpadu dengan derasnya air hujan yang turun. Air mata keduanya tersamarkan, dada keduanya sama-sama sesak. Ada sesuatu yang mereka sembunyikan, ada sama-sama korban yang terkungkung kesalahpahaman.

"Kenapa kamu lakuin itu, Eleine? Kamu tahu aku, aku sangat menunggu ibuku pulang. Kamu tahu betapa inginnya aku mendapatkan kabar bahwa ibuku kembali. Kamu tahu bahwa aku menunggunya di musim panas kali ini... bersamamu, bersama Eugene, Ken...."

"Aru-"

"Kalian menyembunyikan hal itu dariku! Lalu kamu, El..." Aru menggeleng. "Aku berteman, berharap...,

.... bahkan aku jatuh cinta pada seorang pembunuh. Pembunuh ibuku sendiri."

***

Our Sweetest Summer [PROSES TERBIT]Where stories live. Discover now